News / Nasional
Rabu, 15 Oktober 2025 | 22:27 WIB
Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menegaskan sejarah kelam pemerkosaan 1998 tidak boleh dihilangkan dari sejarah Bangsa Indonesia. [Antara]
Baca 10 detik
  • Komnas Perempuan tegaskan kekerasan seksual Mei 1998 tak boleh dihapus dari sejarah.
  • TGPF temukan 85 kasus kekerasan, termasuk 52 pemerkosaan.
  • Maria Ulfah serukan pentingnya merawat ingatan publik demi keadilan korban.

Suara.com - Komnas Perempuan menegaskan kelamnya sejarah kekerasan seksual yang terjadi dalam tragedi Mei 1998 tidak boleh dihapus, dan kebenaran tidak bisa dibungkam.

Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor mengingatkan bahwa kasus perkosaan massal terhadap perempuan, terutama perempuan Tionghoa, merupakan bagian dari dokumen resmi negara sebagaimana diungkap oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 1998.

"Ketika pada Juni lalu seorang Menteri Kebudayaan meragukan istilah pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998, kegaduhan pun muncul. Pernyataan seperti itu bukan hanya melukai korban, tetapi juga menggerus perjuangan panjang untuk menegakkan kebenaran bahwa peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 itu nyata ada," kata Maria dalam perayaan 27 tahun Komnas Perempuan di Jakarta, Rabu (15/10/2025).

Ia menegaskan bahwa suara publik yang menuntut keadilan pascatragedi tersebut tidak bisa diabaikan.

"Dari peristiwa kelam tragedi Mei 1998, ketika ratusan perempuan, terutama para perempuan Tionghoa, mengalami kekerasan seksual di tengah konflik sosial dan politik bangsa, suara publik yang menuntut keadilan kala itu tidak bisa diabaikan," ujarnya.

Komnas Perempuan sendiri dibentuk tak lama setelah peristiwa tersebut, melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.

Pembentukan lembaga ini menjadi tindak lanjut langsung dari laporan TGPF yang menyatakan adanya pelanggaran HAM berat dalam tragedi itu.

"Laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998 mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM, yakni peristiwa kekerasan seksual, 85 kasus, termasuk 52 kasus perkosaan," kata Maria.

Sebagai bagian dari refleksi atas peristiwa itu, Komnas Perempuan juga menggelar pameran foto yang menampilkan rangkaian peristiwa kekerasan dan perjalanan lembaga tersebut dalam memperjuangkan keadilan bagi korban.

Baca Juga: Tuntutan TGPF 98 di PTUN: Desak Fadli Zon Cabut Pernyataan dan Minta Maaf ke Publik

“Komnas Perempuan percaya, kerja merawat ingatan publik jika terus diupayakan akan terus menyala, tidak bisa padam atau dipadamkan. Jika ingatan ini padam, artinya kita merelakan pelanggaran serupa terulang,” tuturnya.

Ia menutup dengan penegasan bahwa menjaga sejarah bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan juga membangun benteng moral dan peradaban bangsa.

“Menjaga sejarah adalah cara kita mewujudkan bangsa yang adil dan beradab,” katanya.

Load More