Suara.com - Pada Juni 2019, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengeluarkan fatwa haram terhadap sebuah video gim (video game) baku tembak PlayerUnknown’s Battlegrounds atau yang lebih populer dengan sebutan PUBG.
MPU menilai PUBG bisa membangkitkan semangat kebrutalan anak-anak dan berpotensi melecehkan simbol-simbol Islam.
Beberapa minggu kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mempertimbangkan fatwa haram skala nasional untuk PUBG dan gim baku tembak daring lainnya.
Saya meneliti video gim di Indonesia dan melihat sikap MPU dan MUI adalah adalah wujud dari rasa panik dan reaksi berlebihan yang sering terjadi saat sebuah media baru muncul. Reaksi berlebihan ini mendorong mereka untuk mengambil sikap keras meski tidak sesuai dengan bukti ilmiah.
Hal ini terjadi karena belum ada kajian kritis tentang perkembangan video gim di Indonesia dan kaitannya dengan budaya di sekitarnya.
Panik moral karena media baru
Jika ditelusuri sejarahnya, rencana pemuka agama untuk mengeluarkan fatwa haram melarang PUBG merupakan respons yang selalu terjadi setiap ada media baru hadir. Hal ini terjadi baik di Indonesia maupun di luar negeri sejak abad ke-18.
Ketika novel mulai populer di Inggris pada abad ke-18, ragam sastra ini dianggap picisan dan berbahaya bagi moralitas. Karya-karya novel populer awal seperti Pamela oleh penulis Samuel Richardson pada 1741 dianggap merusak moral masyarakat di masanya.
Di Nusantara, ketika film baru muncul pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial mengkhawatirkan efek negatif film Barat pada moralitas kaum pribumi. Pemerintah kolonial kemudian merasa perlu membuat aturan hukum terhadap jenis film yang diputar.
Baca Juga: Kaesang Komentari Vivo Z1 Pro, Warganet: Penting Bisa Main PUBG Mas!
Menurut saya, kepanikan moral terhadap media baru terjadi ketika masyarakat belum sepenuhnya memahami peranan sosial dan budaya media populer tersebut. Mereka melihat media baru dari sisi negatifnya saja, terutama efek terhadap anak-anak dan remaja.
Situasi yang sama terlihat dalam kasus PUBG ini. Ketidaktahuan masyarakat terhadap permainan ini juga karena belum ada kajian kritis terkait video gim di Indonesia.
Apa itu PUBG
PUBG adalah pelopor genre battle royale yang sangat populer beberapa tahun belakangan. Genre ini mencampur unsur eksplorasi dan aksi di mana pemain harus bertahan sampai akhir permainan dengan menyingkirkan pemain lain dalam kurun waktu tertentu.
PUBG sendiri bukan gim baku tembak pertama yang masuk ke Indonesia.
Gim seperti seri Counter Strike dan seri Call of Duty sudah lebih lama masuk dan populer di Indonesia.
PUBG memperkenalkan inovasi battle royale dalam genre gim baku tembak. PUBG mempopulerkan mekanisme yang memungkinkan hingga 100 pemain bermain bersamaan untuk saling menyingkirkan satu sama lain sampai hanya tersisa satu orang atau satu tim pemenang.
PUBG juga memiliki tampilan yang realistis, berbeda dengan gim Battle Royale lainnya seperti Fortnite ataupun Apex Legends yang menggunakan gaya visual lebih mirip kartun.
Kombinasi mekanisme permainan yang masif dan tampilan visual PUBG inilah yang kemungkinan besar memicu wacana kepanikan moral terkait kekerasan.
Tidak selalu negatif
Wacana hubungan gim dan kekerasan sudah muncul sejak awal mula industri ini berkembang. Kepanikan moral terhadap gim pertama kali dicatat sejarah ketika gim Death Race dirilis di Amerika Serikat pada 1976.
Secara ilmiah hubungan sebab-akibat antara gim dan kekerasan tidak terbukti, ataupun jika ada, bukti yang ditemukan memiliki bias tertentu.
Akan tetapi, kekerasan dan gim hampir selalu dikaitkan dengan peristiwa kekerasan yang terjadi di dunia nyata.
Wacana fatwa haram PUBG disebut berhubungan dengan peristiwa penembakan terhadap jamaah dua mesjid di Christchurch, Selandia Baru, pada Maret 2019.
PUBG dianggap menginspirasi pelaku penyerangan tersebut dalam melakukan aksinya.
Tentu saja kesimpulan di atas bukan hal yang baru. Respons serupa juga muncul pada kasus-kasus penembakan massal di Amerika Serikat seperti penembakan di Columbine, Colorado pada 1999, penembakan di sekolah dasar Sandy Hook, Connecticut pada 2012, dan yang paling baru penembakan di El Paso, Texas dan Dayton, Ohio, pada awal Agustus 2019.
Kesimpulan yang menyesatkan juga dibuat dengan mengaitkan gim pada kecanduan.
Isu kecanduan ini sudah muncul pada 1980-an ketika gim Space Invaders dan sejenisnya dianggap bisa menyebabkan kecanduan dan penyimpangan oleh salah satu anggota parlemen di Inggris.
Masalah kecanduan gim mengemuka di media-media arus utama seiring meningkatnya penggunaan internet secara global dan perkembangan berbagai genre gim-gim daring.
Berita-berita terkait ini berseliweran baik di tingkat lokal, maupun internasional.
Isu ini memuncak ketika kecanduan gim masuk dalam klasifikasi gangguan mental World Health Organization.
Padahal, studi ilmiah tentang kecanduan gim belum bisa memberikan bukti yang definitif atau hanya menunjukkan hasil yang terbatas saja.
Saya tidak mengatakan video gim sebagai media bersih dan bebas dari hal-hal yang negatif.
Sama seperti media-media lainnya, gim punya masalahnya sendiri, seperti misalnya terkait isu ketimpangan dan stereotip representasi ras, gender, serta orientasi seksual dalam penciptaan, penyebaran, dan konsumsi gim di dunia.
Namun, menurut saya masyarakat perlu memperluas pandangan tentang gim sebagai produk budaya secara lebih serius dan tidak hanya dibatasi oleh stigma-stigma yang mengarah kepada kepanikan moral.
Kajian kritis diperlukan agar gim tidak hanya dinilai dari sudut pandang negatif saja.
Dengan kajian kritis, fenomena kecanduan gim di Indonesia seharusnya bisa dilihat secara lebih besar, misalnya kaitannya dengan maraknya pemakaian gawai elektronik lintas generasi serta persaingan penjualan gawai tersebut, atau terbatasnya akses ruang publik untuk keluarga, atau stereotip gim sebagai media untuk anak-anak semata.
Video game adalah media ekspresi budaya yang heterogen dan tidak tunggal, maka sudah sewajarnya pula kita mengkaji video gim melalui berbagai macam perspektif dan pendekatan.
Kita tidak perlu terpancing oleh isu kepanikan moral yang landasannya masih dipertanyakan.
Artikel ini sudah tayang sebelumnya di The Conversation.
Berita Terkait
-
Rincian Event PUBG Mobile x G-Dragon, Dari Skin hingga Senjata Baru
-
Cara Dapat Skin Kaiju No. 8 PUBG Mobile
-
PUBG Mobile Ikut Viralkan Tradisi Pacu Jalur
-
Yangon Galacticos Juara PMWC 2025 PUBG Mobile, Tim Indonesia Alter Ego Bawa Hadiah Rp 2,4 Miliar
-
Jadwal PUBG Mobile World Cup 2025 Hari Ini: Alter Ego Berjuang Sendiri di PMWC
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Sampaikan Laporan Kinerja, Puan Maharani ke Masyarakat: Mohon Maaf atas Kinerja DPR Belum Sempurna
Pilihan
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
Terkini
-
Isu Jual Beli Hp Wajib Balik Nama, Kemkomdigi Sebut Daftar IMEI Tidak Wajib
-
4 Deretan Fakta Wacana Beli HP Bekas Kayak Beli Motor, Mesti Balik Nama Biar Aman?
-
Apa Dampak Usai Izin TikTok Dibekukan Pemerintah, Masih Bebas Bikin Konten?
-
Ini Bukti Peluncuran Oppo Find X9 dan Find X9 Pro Makin Dekat
-
Telkomsel Siapkan Paket Data Khusus MotoGP Mandalika 2025, 300 BTS Dioperasikan
-
Viral Cewek Ngamuk Sama Kecerdasan Buatan, Gegara Nggak Bisa Sambungkan Lirik Lagu
-
6 Langkah Matikan Centang Biru di WhatsApp, Cara Jitu Baca Pesan Tanpa Ketahuan
-
Daftar Lengkap HP dan Tablet Xiaomi Ini Terima Update hingga 6 Tahun
-
7 Cara Kunci Chat Penting di WhatsApp: Percakapan Rahasia Tetap Aman dari Orang Lain
-
Wacana Jual Beli HP Bekas Wajib Balik Nama, Ini Penjelasan Komdigi