Suara.com - Kementerian Keuangan menegaskan perlambatan pertumbuhan ekonomi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun secara global dan telah menjadi fenomena umum.
"Perlambatan ini terjadi tidak hanya di Indonesia namun juga terjadi secara global pada negara maju dan berkembang," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara dalam acara seminar nasional bertajuk ' Ekonomi Indonesia Menuju Krisis?' di Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie, Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan perlambatan ekonomi di sebagian besar negara maju yang merupakan pasar ekspor barang produksi Indonesia, terus terjadi hingga kuartal kedua tahun 2015 ini.
"Trend-nya terus menurun setelah kuartal kedua yang lalu, Amerika sekarang indeksnya 2,7, Kanada sebesar 1,0, Inggris sebesar 2,6, Australia sebesar 2,0 dan Korea Selatan sebesar 2,2. Hanya Uni Eropa yang agak meningkat jadi 1,6 pada Q2 2015," ujar dia.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut juga terjadi di pasar-pasar ekonomi seperti Tiongkok yang pada kuartal kedua memiliki indeks pertumbuhan 6,8-7,0. Selain itu ada Indonesia (4,7), Malaysia (5,0), Meksiko (2,2), Singapura (1,8), Thailand (2,8), India (7,0) dan Taiwan (0,8).
"Bahkan Brazil dan Rusia pada kuartal kedua mengalami kemunduran dengan indeks masing-masing -2,6 dan -4,6," ujarnya.
Ketika ditanya terkait dengan kemungkinan Indonesia mengalami krisis ekonomi, Suahasil mengatakan kemungkinan tersebut ada, namun dia yakin bahwa pemerintah memperhatikan risiko ekonomi global, dengan cara mengambil langkah yang tepat dalam kebijakannya.
"Kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi, hendaknya memperhatikan risiko ekonomi global agar Indonesia bisa melewati masa tidak menentu perekonomian global," ujarnya.
Risiko yang harus diperhatikan tersebut antara lain adalah kinerja perekonomian dari pasar-pasar ekonomi yang ada khususnya Tiongkok yang dalam fase perlambatan.
Lalu, kinerja perekonomian negara maju di mana Amerika Serikat menunjukkan perbaikan namun Uni Eropa dan Jepang dalam upaya pemulihan.
Selanjutnya yang harus diperhatikan juga, harga komoditas global yang rentan berubah dan cenderung melemah. Lalu kebijakan moneter negara dan kawasan maju yang harus diperhatikan dengan adanya normalisasi serta paket kebijakan dari otoritas moneter di Amerika (FED), Jepang (BOJ) dan Eropa (ECB).
"Tidak lupa juga kebijakan devaluasi mata uang Tiongkok (Yuan) yang dapat mendorong depresiasi mata uang regional," ujarnya. (Antara)
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Link DANA Kaget Khusus Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cuan Rp 345 Ribu
- Beda Biaya Masuk Ponpes Al Khoziny dan Ponpes Tebuireng, Kualitas Bangunan Dinilai Jomplang
- Owner Bake n Grind Terancam Penjara Hingga 5 Tahun Akibat Pasal Berlapis
- 5 Link DANA Kaget Terbaru Bernilai Rp 434 Ribu, Klaim Sekarang Sebelum Kehabisan!
- Unggahan Putri Anne di Tengah Momen Pernikahan Amanda Manopo-Kenny Austin Curi Perhatian
Pilihan
-
Grand Mall Bekasi Tutup, Netizen Cerita Kenangan Lawas: dari Beli Mainan Sampai Main di Aladdin
-
Jay Idzes Ngeluh, Kok Bisa-bisanya Diajak Podcast Jelang Timnas Indonesia vs Irak?
-
278 Hari Berlalu, Peringatan Media Asing Soal Borok Patrick Kluivert Mulai Jadi Kenyataan
-
10 HP dengan Kamera Terbaik Oktober 2025, Nomor Satu Bukan iPhone 17 Pro
-
Timnas Indonesia 57 Tahun Tanpa Kemenangan Lawan Irak, Saatnya Garuda Patahkan Kutukan?
Terkini
-
Hadirkan Musik Kelas Dunia Melalui Konser Babyface dengan Penawaran Eksklusif BRImo Diskon 25%
-
RDN BCA Dibobol Rp 70 Miliar, OJK Akui Ada Potensi Sistemik
-
ESDM Pastikan Revisi UU Migas Dorong Investasi Baru dan Pengelolaan Energi yang Berkelanjutan
-
Penyaluran Pupuk Subsidi Diingatkan Harus Sesuai HET, Jika Langgar Kios Kena Sanksi
-
Tak Mau Nanggung Beban, Purbaya Serahkan Utang Kereta Cepat ke Danantara
-
Modal Asing Rp 6,43 Triliun Masuk Deras ke Dalam Negeri Pada Pekan Ini, Paling Banyak ke SBN
-
Pertamina Beberkan Hasil Penggunaan AI dalam Penyaluran BBM Subsidi
-
Keluarkan Rp 176,95 Miliar, Aneka Tambang (ANTM) Ungkap Hasil Eksplorasi Tambang Emas Hingga Bauksit
-
Emiten PPRO Ubah Hunian Jadi Lifestyle Hub, Strategi Baru Genjot Pendapatan Berulang
-
Penumpang Kereta Api Tembus 369 Juta Hingga September 2025