Suara.com - Harga minyak mentah menetap di bawah 30 dolar AS per barel pada Selasa (17/3/2020), karena pandemi virus corona memperlambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak, sementara Arab Saudi dan Rusia terus bertarung untuk memperebutkan pangsa pasar.
Beberapa negara termasuk Amerika Serikat dan Kanada, bersama negara-negara di Eropa dan Asia, mengambil langkah-langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengendalikan virus tersebut, yang menewaskan 7.500 orang.
Banyak negara mengatakan kepada rakyatnya untuk membatasi pergerakan mereka sementara bisnis ditutup, sehingga menekan permintaan bahan bakar.
Mengutip Reuters, Rabu (18/3/2020) minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, merosot 1,32 dolar AS untuk menetap di posisi 28,73 dolar AS per barel, pertama kalinya ditutup di bawah 30 dolar AS per barel sejak 2016.
Kemudian, Brent jatuh lebih jauh dalam perdagangan pasca-settlement.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), anjlok 1,75 dolar AS atau 6,1 persen, menjadi menetap di posisi 26,95 dolar AS per barel.
"Kita mendapati berita kehancuran permintaan yang baru, yang menghampiri kita setiap jam," kata John Kilduff, mitra di Again Capital Management, New York.
Di tengah jatuhnya permintaan karena pandemi tersebut, Arab Saudi dan Rusia tetap terlibat dalam perang harga yang meletus setelah dua produsen utama itu gagal menyepakati perpanjangan pembatasan pasokan untuk mendukung pasar.
Kementerian Energi Saudi mengatakan ekspor minyak mentah Kerajaan itu akan meningkat dalam beberapa bulan mendatang menjadi lebih dari 10 juta barel per hari, karena berencana untuk menggunakan lebih banyak gas untuk listrik ketimbang membakar minyak mentah.
Baca Juga: Banyak Negara Lockdown, Harga Minyak Dunia Terus Turun
Premi Brent atas WTI menyempit tajam menjadi 67 sen per barel, mencapai level yang tidak terlihat sejak November 2016.
Brent lebih bereaksi terhadap pasokan dari produsen non-AS, sehingga peningkatan yang diperkirakan dari Arab Saudi dan Rusia memukul tolok ukur itu lebih keras daripada WTI.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- Calon Pelatih Indonesia John Herdman Ngaku Dapat Tawaran Timnas tapi Harus Izin Istri
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
Pilihan
-
4 Tablet RAM 8 GB dengan Slot SIM Card Termurah untuk Penunjang Produktivitas Pekerja Mobile
-
3 Fakta Perih Usai Timnas Indonesia U-22 Gagal Total di SEA Games 2025
-
CERPEN: Catatan Krisis Demokrasi Negeri Konoha di Meja Kantin
-
CERPEN: Liak
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
Terkini
-
Kamus Istilah Pegadaian Terlengkap, Mulai dari Marhun hingga Surat Bukti Gadai
-
Industri Pindar Tumbuh 22,16 Persen, Tapi Hadapi Tantangan Berat
-
Perilaku Konsumen RI Berubah, Kini Maunya Serba Digital
-
Bagaimana Digitalisasi Mengubah Layanan Pertamina
-
Memahami Pergerakan Harga Bitcoin, Analisis Teknikal Sudah Cukup?
-
BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
-
BCA Kembali Menjadi Juara Umum Annual Report Award, Diikuti BCA Syariah pada Klaster Rp1 Triliun
-
ESDM: Rusia-Kanada Mau Bantu RI Bangun Pembakit Listrik Tenaga Nuklir
-
Bos Lippo Ungkap 5 Modal Indonesia Hadapi Ketidakpastian Global 2026
-
Purbaya Larang Bea Cukai Sumbangkan Pakaian Bekas Hasil Sitaan ke Korban Banjir Sumatra