Suara.com - Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah salah satu industri yang berperan cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Kendati demikian, peredarannya termasuk yang dikontrol mengingat adanya risiko mungkin muncul jika dikonsumsi secara berlebihan.
Terlepas dari hal itu, industri ini memiliki rantai bisnis yang sangat luas sehingga mampu menciptakan nilai tambah di setiap lapisan operasionalnya. Salah satunya menciptakan lapangan kerja.
Namun, kebijakan pemerintah terhadap IHT dinilai menjadi kian eksesif bagi pelaku usaha. Salah satu kebijakan yang kembali menimbulkan keresahan banyak pengusaha rokok adalah terbitnya Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang di dalamnya terdapat penyederhanaan layer tarif cukai.
Kebijakan ini dinilai bisa berdampak pada tutupnya pabrik rokok khususnya pabrikan kecil dan menengah dan penyerapan komoditas tembakau dan cengkeh menjadi terancam.
Padahal, selama pandemi COVID-19 banyak pelaku IHT sudah mulai merasakan dampak ekonomi yang cukup signifikan, khususnya pasca penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah.
Menyikapi hal ini, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan bahwa dari sektor hulu atau kesiapan bahan baku pada dasarnya produksi masih berjalan. Hanya, ia mengakui bahwa selama PSBB berlangsung ada pembatasan yang berdampak pada penyerapan ke pabrikan.
"Meski saat ini produksi masih berjalan, namun semasa PSBB berlangsung, pasokan ke industri pasti terganggu," ujarnya dalam keterangannya, Kamis (23/7/2020).
Hendratmojo Bagus Hudoro melanjutkan, pihaknya telah mendengar ada rencana pembahasan kembali penyederhanaan tarif cukai yang masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.
"Saya rasa kebijakan ini sudah dipertimbangkan oleh Kementerian Keuangan, dan pengaruhnya pada aspek hulu tidak banyak berpengaruh. Akan tetapi, jika bicara soal bagaimana penyerapan dan harga produk ke depan tentu berbeda lagi," jelasnya.
Baca Juga: Pandemi, Ini Solusi untuk Kesejahteraan Petani Tembakau
Belum lama ini, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengumumkan akan menerapkan kembali penyederhanaan layer. Kebijakan penyederhanaan tarif cukai ditujukan untuk mengurangi lapisan tarif cukai dari 10 layer ke 5 layer di 2021.
Kebijakan ini pernah diberlakukan sebelumnya, namun dihapuskan dengan diberlakukannya PMK No. 156 Tahun 2018. Pasalnya, diskusi berbagai pihak menyepakati bahwa penyederhanaan tarif cukai yang sebelumya juga dibarengi penggabungan volume produksi SKM dan SPM ini hanya akan membuat industri kecil serta menengah tidak memiliki daya saing. Hingga hanya industri yang besar serta berada di golongan satu (1) sajalah yang dapat bertahan dan berkembang.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menyatakan, saat ini pemerintah tidak memiliki posisi jelas untuk menentukan masa depan sektor IHT. Menurutnya, perlu ada kejelasan aturan, industri ini mau diapakan. Apakah akan dilarang total, atau bagaimana. Tidak bisa latah mengikuti kebijakan negara lain karena sektor ini unik.
"Selama pandemi, sumbangan IHT adalah satu-satunya yang masih stabil, sehingga harus ada roadmap aturan yang jelas dan mampu mengakomodasi semua sektor dari hulu-hilirnya seperti komoditas tanamannya, petaninya mau dikemanakan, pabrikan, buruh, sampai perdagangannya harus dipikirkan akan seperti apa ke depan," jelas Enny Sri Hartati.
Terkait penyederhanaan layer dan penggabungan volume produksi SKM dan SPM, Enny Sri Hartati menekankan produk tembakau di Indonesia ini unik karena adanya komoditas kretek yang menjadi ciri khas produk Indonesia.
"Nah, yang menarik adalah rencana penggabungan SKM dan SPM ini. Karena masing-masing generiknya saja sudah berbeda, yang satu kretek, yang lainnya rokok putih, kalau klasifikasinya sudah beda, bagaimana mau disamakan," imbuhnya.
Tag
Berita Terkait
-
SEA Games Thailand 2025: Saat Kenyamanan Jadi Bagian dari Performa Atlet Indonesia
-
Melankolia yang Menenangkan: Starrducc Tutup 2025 dengan Mini Album Starrducc III
-
Wamendiktisaintek Soroti Peran Investasi Manusia dan Inovasi untuk Kejar Indonesia Emas 2045
-
Indonesia Juara Umum Panahan SEA Games 2025, Lampaui Target dengan 6 Medali Emas
-
Bukan Sekadar Taktik! Filosofi V-P-D John Herdman Bisa Ubah Nasib Timnas Indonesia
Terpopuler
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
-
Kuota Pemasangan PLTS Atap 2026 Dibuka, Ini Ketentuan yang Harus Diketahui!
-
Statistik Suram Elkan Baggott Sepanjang 2025, Cuma Main 360 Menit
Terkini
-
Pati Singkong Bisa Jadi Solusi Penumpukan Sampah di TPA
-
BRI Terus Salurkan Bantuan Bencana di Sumatra, Jangkau Lebih dari 70.000 Masyarakat Terdampak
-
Laporan CPI: Transisi Energi Berpotensi Tingkatkan Pendapatan Nelayan di Maluku
-
SPBU di Aceh Beroperasi Normal, BPH Migas: Tidak Ada Antrean BBM
-
Purbaya Gelar Sidang Debottlenecking Perdana Senin Depan, Selesaikan 4 Aduan Bisnis
-
Purbaya Prediksi Pertumbuhan Ekonomi RI: 5,2% di 2025, 5,4% pada 2026
-
Menaker Yassierli Klaim PP Pengupahan Baru Hasil Kompromi Terbaik: Belum Ada Penolakan Langsung
-
Purbaya Sentil Balik Bank Dunia soal Defisit APBN: Jangan Terlalu Percaya World Bank!
-
Bank Mandiri Dorong Akselerasi Inklusivitas, Perkuat Ekosistem Kerja dan Usaha Ramah Disabilitas
-
Purbaya Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Capai 3% Buntut Penurunan Suku Bunga The Fed