Suara.com - Harga minyak mentah dunia meroket lebih dari 2 persen usai turun harga pada perdagangan sebelumnya karena OPEC Plus mengatakan akan menindak negara yang gagal mematuhi pemotongan produksi.
Selain itu, kelompok tersebut berencana mengadakan pertemuan luar biasa pada Oktober jika pasar minyak semakin melemah.
Setelah jatuh di awal sesi di tengah data ketenagakerjaan yang bearish dan peningkatan produksi minyak Teluk Meksiko menyusul Badai Sally, patokan minyak mentah berbalik arah untuk menguat pada sesi ini, didukung komentar dari OPEC.
Mengutip CNBC, Jumat (18/9/2020) minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup melesat 1,08 dolar AS atau 2,56 persen menjadi 43,30 dolar AS per barel.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate, meningkat 81 sen, atau 2,02 persen menjadi 40,97 dolar AS per barel. Kedua kontrak tersebut meroket lebih dari 4 persen pada penutupan Rabu.
Panel produsen utama, termasuk Arab Saudi dan Rusia, tidak merekomendasikan perubahan apa pun pada target pemotongan produksi mereka saat ini sebesar 7,7 juta barel per hari (bph), atau sekitar 8 persen dari permintaan global, menurut draf siaran pers dan laporan internal.
Panel itu menekan sejumlah negara seperti Irak, Nigeria dan Uni Emirat Arab untuk memotong lebih banyak barel guna mengkompensasi kelebihan produksi pada Mei-Juli, sambil memperpanjang periode kompensasi dari September hingga akhir Desember, menurut tiga narasumber OPEC Plus.
Berita OPEC itu membayangi dimulainya kembali produksi lepas pantai AS setelah Badai Sally melewati Teluk Meksiko dan data ekonomi Amerika yang melemah.
Perusahaan energi AS mulai mengembalikan awaknya ke anjungan minyak lepas pantai di Teluk Meksiko setelah Badai Sally menghentikan operasi selama lima hari, mematikan hampir 500.000 barel per hari produksi.
Baca Juga: Arab Saudi Banting Harga, Minyak Dunia Langsung Anjlok
Harga juga berada di bawah tekanan dari pemulihan ekonomi yang lambat dari pandemi virus corona.
Laporan Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan jumlah warga Amerika yang mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran turun pekan lalu, tetapi tetap pada level yang sangat tinggi karena pemulihan pasar tenaga kerja bergeser ke kecepatan yang rendah dan belanja konsumen mendingin.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Nama Pegawai BRI Selalu Dalam Doa, Meski Wajahnya Telah Lupa
-
Pemerintah Siapkan 'Karpet Merah' untuk Pulangkan Dolar WNI yang Parkir di Luar Negeri
-
Kartu Debit Jago Syariah Kian Populer di Luar Negeri, Transaksi Terus Tumbuh
-
BRI Dukung JJC Rumah Jahit, UMKM Perempuan dengan Omzet Miliaran Rupiah
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Bahlil 'Sentil' Pertamina: Pelayanan dan Kualitas BBM Harus Di-upgrade, Jangan Kalah dari Swasta!
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Program AND untuk 71 SLB, Bantuan Telkom Dalam Memperkuat Akses Digitalisasi Pendidikan
-
Dari Anak Tukang Becak, KUR BRI Bantu Slamet Bangun Usaha Gilingan hingga Bisa Beli Tanah dan Mobil
-
OJK Turun Tangan: Klaim Asuransi Kesehatan Dipangkas Jadi 5 Persen, Ini Aturannya