Suara.com - Musibah kembali melanda industri penerbangan nasional. Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 jatuh di dekat Pulau Laki, Kepulauan Seribu pada Sabtu, 9 Januari 2021. Pesawat rute Jakarta-Pontianak itu hilang kontak pukul 14.40 WIB.
Pesawat jenis Boeing 737-500 yang berusia 27 tahun itu jatuh dan hancur, sehingga menimbulkan korban jiwa 50 penumpang dan 12 awak kabin pesawat.
Kecelakan pesawat Sriwijaya SJ-182 ini menjadi bencana penerbangan terbesar di tanah air sejak kecelakaan pesawat Lion Air JT-160 Jenis Boeing 737-8 MAX yang jatuh di perairan laut Jawa sekitar Kerawang setelah lepas landas dari bandara Soekarno Hatta menuju Pangkal Pinang dan mengakibatkan 189 orang meninggal dunia pada 29 Oktober 2018.
Dekan & Guru Besar FH Universitas Tarumanegara yang juga pakar penerbangan Prof. Dr. Ahmad Sudiro mengatakan, dalam peristiwa kecelakan itu, terdapat hak-hak ahli waris korban yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh para pihak yg dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan tersebut.
Menurut Ahmad Sudiro, ganti kerugian atau kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat sesuai dengan Pasal 141 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, dan Pasal 2 jo Pasal 3 Peraruran Menteri Perhubungan (PerMenHub) No. PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, serta ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
“Namun ganti kerugian atau kompensasi dari pengangkut ini tidak mengurangi dan tidak melepaskan pihak- pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab juga untuk tetap dituntut ganti kerugian atas terjadinya kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182 jenis Boeing 737- 500 tersebut,” kata Ahmad di Jakarta, Sabtu (23/1/2021).
Ahmad menambahkan sudah ada aturan Menteri Perhubungan terkait kompensasi yang harus diberikan keluarga penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan.
Permenhub No. 77 Tahun 2011 Bab VI Pasal 23 berbunyi besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui abritrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ahmad menjelaskan ada sejumlah pelajaran yang bisa diambil dari kejadian jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 pada. 29 Oktober 2018. Ketika itu, ada empat hal yang harus dihadapi keluarga/ahli waris penumpang pesawat Lion Air JT 610.
Baca Juga: Pakar: Ahli Waris Korban Sriwijaya Air Bisa Tuntut Perusahaan Boeing di AS
Pertama, keluarga tanpa pendampingan ahli hukum atau pengacara, secara sepihak diarahkan oleh pihak maskapai untuk memberikan pelepasan dan pembebasan dari sanksi perdata maupun pidana kepada pihak maskapai dan pabrikan pesawat untuk menerima santunan sebesar Rp 1.250.000.000 ditambah Rp 50.000.000 ekstra santunan dari maskapai dan pabrikan pesawat terbang.
Kedua, para keluarga yang oleh karena terdesak kebutuhan maka menerima dana santunan Rp 1.300.000.000. Ketiga, dengan menerima dan menandatangani R&D (Release and Discharge dengan terjemahan bebasnya adalah PELEPASAN dan PEMBEBASAN) pihak keluarga dan ahli waris tidak bisa menuntut baik pidana maupun perdata kepada maskapai penerbangan dan pabrikan pesawat beserta sekitar 1.000 supplier dan subkontraktor dari pabrikan pesawat di Amerika Serikat.
Keempat, banyak keluarga yang terlanjur menandatangani R&D mengalami kesedihan kedua kalinya karena tidak bisa mendapatkan santunan dari pihak pabrikan pesawat di Amerika Serikat menurut Undang-Undang Amerika Serikat.
“Fakta hukum para keluarga korban yang tidak menandatangani R&D dapat dengan mudah mengajukan tuntutan kepada perusahaan pabrikan pesawat di Amerika Serikat. Dalam pengajuan klaim di Amerika Serikat berdasarkan perundang-undangan hukum yang berlaku disana, keluarga bisa mendapatkan santunan dalam jumlah yang sangat layak. Tentu harus diwakili oleh pengacara yang berasal dari Amerika Serikat,” jelasnya.
Namun, lanjut Ahmad, keluarga korban yang terlanjur menandatangani R&D pun bisa menuntut ke pabrikan pesawat di Amerika Serikat akan tetapi mendapatkan santunan yang besarnya hanya sekitar 30% dibanding mereka yang menolak menandatangani R&D.
Hal ini perlu menjadi pertimbangan bagi para keluarga korban secara logis ditengah kedukaan yang sangat dalam yang dialami saat ini.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- Calon Pelatih Indonesia John Herdman Ngaku Dapat Tawaran Timnas tapi Harus Izin Istri
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
Pilihan
-
CERPEN: Liak
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
Terkini
-
Industri Pindar Tumbuh 22,16 Persen, Tapi Hadapi Tantangan Berat
-
Perilaku Konsumen RI Berubah, Kini Maunya Serba Digital
-
Bagaimana Digitalisasi Mengubah Layanan Pertamina
-
Memahami Pergerakan Harga Bitcoin, Analisis Teknikal Sudah Cukup?
-
BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
-
BCA Kembali Menjadi Juara Umum Annual Report Award, Diikuti BCA Syariah pada Klaster Rp1 Triliun
-
ESDM: Rusia-Kanada Mau Bantu RI Bangun Pembakit Listrik Tenaga Nuklir
-
Bos Lippo Ungkap 5 Modal Indonesia Hadapi Ketidakpastian Global 2026
-
Purbaya Larang Bea Cukai Sumbangkan Pakaian Bekas Hasil Sitaan ke Korban Banjir Sumatra
-
Purbaya Sewot Teknologi AI Bea Cukai Dibandingkan dengan Milik Kemenkes: Tersinggung Gue!