Suara.com - Rusia kini tengah makin terdesak dalam menghadapi tekanan seiring pembatasan transaksi kripto dari Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang.
Langkah ini diambil guna mengantisipasi Rusia yang bertransaksi menggunakan kripto usai mendapatkan sanksi ekonomi dari berbagai negara.
Mengutip dari Nikkei Asia pada Selasa (8/3/2022), pemegang kebijakan Jepang saat ini mulai menyiapkan regulasi baru termasuk larangan pertukaran kripto dari warga Rusia.
Sejumlah negara di barat saat ini disebut-sebut jadi pilihan bagi Rusia agar bisa bertransaksi uang ke berbagai negara pasca sanksi yang diberikan.
Sanksi tersebut termasuk kesepakatan oleh AS, Jepang dan Uni Eropa untuk memblokir bank-bank besar Rusia dari jaringan pembayaran global SWIFT.
Para menteri keuangan Uni Eropa sepakat pada Selasa (1/3/2022) untuk menyelidiki lebih lanjut tindakan untuk menghindari sanksi, terutama dengan penggunaan aset kripto.
Mantan kepala pusat teknologi keuangan Bank of Japan yang sekarang menjadi profesor di Universitas Kyoto, Naoyuki Iwashita, menuturkan, ini bukan pertama kalinya aset kripto digunakan untuk hal semacam itu.
Selama krisis keuangan di Siprus pada 2013, pemerintah memberlakukan kontrol modal untuk mencegah rush money, termasuk pembekuan deposito.
Negara ini telah lama menjadi surga pajak bagi orang kaya Rusia, dan diperkirakan banyak yang bergegas menukar uang mereka dengan Bitcoin ketika kontrol diumumkan.
Baca Juga: Dikritik, PM Inggris Tetap Tolak Mudahkan Visa untuk Pengungsi Ukraina: Tak Masuk Akal
"Ini adalah salah satu kasus besar pertama di mana mata uang kripto digunakan untuk pencucian uang," kata Iwashita dikutip dari Warta Ekonomi.
Berita Terkait
-
PM Boris Jhonson Tegaskan Inggris Menolak Kemudahan Visa Bagi Pengungsi Ukraina
-
Tolak Permudah Visa bagi Pengungsi Ukraina, Boris Johnson: Inggris Negara Murah Hati Tapi
-
Perang Rusia vs Ukraina, Federasi Judo Copot Status Penting Presiden Rusia Vladimir Putin
-
Banyak Diboikot Produsen Otomotif, Strategi Pemerintah Rusia Diluar Dugaan
-
Dikritik, PM Inggris Tetap Tolak Mudahkan Visa untuk Pengungsi Ukraina: Tak Masuk Akal
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Tak Mau Naikkan Tarif Listrik Meski Subsidi Berkurang
-
Istana Tanggapi Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk' di Media Sosial: Presiden Aja Ikut Macet-macetan!
-
Emil Audero Jadi Kunci! Cremonese Bidik Jungkalkan Parma di Kandang
-
DPR Usul Ada Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya Tolak Mentah-mentah: Insentif Orang Ngibul!
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
Terkini
-
SPBU Swasta Beli BBM dari Pertamina, Simon: Kami Tak Cari Untung!
-
Jurus SIG Hadapi Persaingan: Integrasi ESG Demi Ciptakan Nilai Tambah Jangka Panjang
-
Menkeu Purbaya Tak Mau Naikkan Tarif Listrik Meski Subsidi Berkurang
-
DPR Usul Ada Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya Tolak Mentah-mentah: Insentif Orang Ngibul!
-
Kemenhub 'Gandeng' TRON: Kebut Elektrifikasi Angkutan Umum, Targetkan Udara Bersih dan Bebas Emisi!
-
Harris Arthur Resmi Pimpin IADIH, Siap Lawan Mafia Hukum!
-
Fakta-fakta Demo Timor Leste: Tekanan Ekonomi, Terinspirasi Gerakan Warga Indonesia?
-
Alasan Eks Menteri Sebut DJP 'Berburu Pajak di Kebun Binatang': Masalah Administrasi Serius
-
Nama Pegawai BRI Selalu Dalam Doa, Meski Wajahnya Telah Lupa
-
Pemerintah Siapkan 'Karpet Merah' untuk Pulangkan Dolar WNI yang Parkir di Luar Negeri