Suara.com - Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) sawit dan belum pulihnya ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) membuat industri dan petani kelapa sawit kelimpungan.
Hal ini semakin diperparah dengan ada beragam kebijakan pemerintah yang semakin membuat industri dan petani tertekan, salah satunya yaitu pungutan ekspor CPO.
Anggota Komisi IV DPR Bambang Purwanto menilai saat ini tarif pungutan ekspor CPO sangat tinggi, sedangkan harga komoditas tersebut di pasar internasional sedang berfluktuasi. Saat ini tarif pungutan ekspor mencapai 55 persen dari harga ekspor CPO.
"Karena pungutannya besar, eksportir kita tidak mampu bersiang di luar," kata dia.
Selain berdampak pada industri, beban pungutan ekspor ini juga turut menekan para petani sawit. Di tengah amblasnya harga TBS sawit, petani saat ini sedang kelimpungan menjual hasil panennya karena produsen sendiri tengah mengalami over stock di tangki-tangki miliknya.
Sebagai gambaran, untuk periode II Januari 2022, harga TBS sawit umur 3 tahun dipatok Rp 2.471,25 persen kg dan untuk sawit umur 25 tahun Rp 2.953,19 per kg. Sementara saat ini harga TBS turun ke bawah Rp1.000 per kg. Per 26 Juni 2022, harga TBS di 10 provinsi wilayah anggota SPKS berkisar Rp 500-Rp 1.070 per kg.
"Mereka (petani) pada saat mengembangkan sawit, butuh dana besar, mereka mengagunkan rumah untuk pinjam ke bank. Saat sekarang mau bayar angsuran, tidak bisa. Itu berpotensi terjadi kemiskinan massal. Sehingga pemerintah harus memperhatikan itu," tegas dia.
Oleh sebab itu, lanjut Bambang, dirinya meminta pemerintah untuk sementara menghilangkan pungutan ekspor CPO demi menyelamatkan nasib pabrik kelapa sawit dan para petani yang jumlahnya sangat besar.
"Dengan menghilangkan sementara pungutan ekspor, itu bisa menyelamatkan pabrik kelapa sawit dan petani sawit khususnya. Karena jumlah petani swadaya ini jumlahnya cukup besar. Kalau (pemerintah) tidak mengalah, itu pabrik kelapa sawit dan petani bisa bangkrut. Kalau semua bangkrut, itu artinya sumber minyak goreng bakal hilang," jelasnya.
Baca Juga: Benarkah Indonesia Jadi Negara dengan Harga CPO Termahal? Ini Penjelasannya
"Makanya harus setop dulu sementara, atau kalau memang masih perlu (dana pungutan ekspor) tarifnya diperkecil. Sehingga eksportir kita bisa bersaing. Kasian eksportir kita disetop tiba-tiba," tutup Bambang.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
Pilihan
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
-
Ternyata Ini Rahasia Kulit Cerah dan Sehat Gelia Linda
-
Kontras! Mulan Jameela Pede Tenteng Tas Ratusan Juta Saat Ahmad Dhani Usulkan UU Anti Flexing
Terkini
-
Pengamat Bicara Nasib ASN Jika Kementerian BUMN Dibubarkan
-
Tak Hanya Sumber Listrik Hijau, Energi Panas Bumi Juga Bisa untuk Ketahanan Pangan
-
Jadi Harta Karun Energi RI, FUTR Kebut Proyek Panas Bumi di Baturaden
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
CORE Indonesia Lontarkan Kritik Pedas, Kebijakan Injeksi Rp200 T Purbaya Hanya Untungkan Orang Kaya
-
Cara Over Kredit Cicilan Rumah Bank BTN, Apa Saja Ketentuannya?
-
Kolaborasi dengan Pertamina, Pengamat: Solusi Negara Kendalikan Kuota BBM
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
Daftar Nama Menteri BUMN dari Masa ke Masa: Erick Thohir Geser Jadi Menpora
-
Stok BBM di SPBU Swasta Langka, Pakar: Jangan Tambah Kuota Impor, Rupiah Bisa Tertekan