Suara.com - Harga minyak dunia menguat pada perdagangan akhir pekan lalu, karena harapan permintaan China yang lebih kuat dan melemahnya dolar AS.
Sentimen tersebut mengalahkan kekhawatiran tentang penurunan ekonomi global serta dampak kenaikan suku bunga pada penggunaan bahan bakar.
Untuk melawan inflasi, Federal Reserve AS sedang mencoba untuk memperlambat ekonomi dan akan terus menaikkan target suku bunga jangka pendeknya.
Demikian pernyataan Presiden Federal Reserve Bank of Philadelphia Patrick Harker pada hari Kamis dalam komentar yang membebani minyak.
Tetapi minyak mentah mendapatkan dukungan dari larangan Uni Eropa yang membayangi minyak Rusia, serta pengurangan produksi 2 juta barel per hari baru-baru ini yang disepakati oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC +.
Mengutip CNBC, Senin (24/10/2022), minyak mentah Brent ditutup naik 1,21 persen ke harga USD93,50 per barel. Minyak mentah West Texas Intermediate AS naik 54 sen menjadi USD85,05. Volume perdagangan kontrak untuk kedua tolok ukur harga minyak global tersebut sekitar setengah dari volume sesi sebelumnya.
"Para trader meningkatkan posisi menjelang akhir pekan setelah kontrak WTI yang berakhir pada November meningkatkan volatilitas," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho di New York.
Dia menambahkan bahwa ayunan dolar AS yang biasanya bergerak terbalik dengan harga minyak, mengantarkan perdagangan minyak menjadi berombak.
Brent, yang mendekati level tertinggi sepanjang masa di USD147 pada bulan Maret, berada di jalur untuk kenaikan mingguan sebesar 0,8 persen. Sementara minyak mentah WTI AS menuju kerugian sekitar 1,5 persen. Kedua tolok ukur tersebut turun pada minggu sebelumnya.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Melorot, WTI Anjlok ke Level USD82/Barel
Mengenai pemotongan produksi OPEC +, yang dikritik oleh Amerika Serikat, menteri energi Arab Saudi mengatakan kelompok produsen melakukan pekerjaan yang tepat untuk memastikan pasar minyak yang stabil dan berkelanjutan.
Minyak naik pada hari Kamis setelah Bloomberg News melaporkan bahwa Beijing sedang mempertimbangkan untuk memotong periode karantina bagi wisatawan menjadi tujuh hari dari 10 hari. Belum ada konfirmasi resmi dari Beijing.
China, importir minyak mentah terbesar di dunia, telah menerapkan pembatasan ketat COVID-19 tahun ini, sangat membebani aktivitas bisnis dan ekonomi serta mengurangi permintaan bahan bakar.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
Pilihan
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
-
Ternyata Ini Rahasia Kulit Cerah dan Sehat Gelia Linda
-
Kontras! Mulan Jameela Pede Tenteng Tas Ratusan Juta Saat Ahmad Dhani Usulkan UU Anti Flexing
Terkini
-
Isu Deforestasi! Kemenhut Tegaskan HTI untuk Energi Terbarukan Akan Dikelola dengan Aturan Ketat
-
Bukan Cuma Smelter! Industri Nikel RI Kini Kian Fokus Garap Kualitas SDM
-
Pilih Mata Uang Lokal, Negara ASEAN Kompak Kurangi Gunakan Dolar
-
Ada Pemotongan Anggaran, 800 Ribu Buruh hingga Guru Mogok Kerja
-
Pengamat Bicara Nasib ASN Jika Kementerian BUMN Dibubarkan
-
Tak Hanya Sumber Listrik Hijau, Energi Panas Bumi Juga Bisa untuk Ketahanan Pangan
-
Jadi Harta Karun Energi RI, FUTR Kebut Proyek Panas Bumi di Baturaden
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
CORE Indonesia Lontarkan Kritik Pedas, Kebijakan Injeksi Rp200 T Purbaya Hanya Untungkan Orang Kaya
-
Cara Over Kredit Cicilan Rumah Bank BTN, Apa Saja Ketentuannya?