Suara.com - Indonesia tengah berada di persimpangan krusial dalam perjalanan ekonominya. Di tengah upaya mendorong pertumbuhan, sektor industri yang selama ini menjadi tulang punggung Produk Domestik Bruto (PDB) justru menunjukkan tren penurunan signifikan dari sekitar 26 persen di awal 2000-an menjadi hanya 19 persen pada kuartal pertama tahun 2025.
Para pakar menilai ini sebagai pertanda kuat bahwa Indonesia sedang menghadapi deindustrialisasi dini.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadimengatakan, sinyal perlambatan industri tampak jelas dari data Purchasing Manager's Index (PMI) dan pertumbuhan industri non-migas.
"Purchasing Manager's Indeks (PMI) bulan April turun ke angka 4,67 – menunjukkan kontraksi. Ini terjadi karena produsen menumpuk stok barang untuk permintaan yang tak kunjung datang," ujarnya di Jakarta seperti dikutip, Rabu (21/5/2025).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencerminkan hal serupa. Pada kuartal I 2025, beberapa subsektor industri mengalami kontraksi tahunan, seperti industri alat angkutan (3,46 persen yoy), industri mesin (-1,38 persen yoy), dan sektor tembakau (-3,77 persen yoy).
Fithra menekankan bahwa tantangan ini tak cukup dijawab dengan stimulus ekonomi jangka pendek. Ia menyarankan langkah yang lebih fundamental:
"Koherensi kebijakan dan reformasi regulasi adalah fondasi utama. Tanpa itu, industri kita akan terus tertinggal," kata dia.
Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor melalui pendekatan quadruple helix, yang melibatkan pemerintah, industri, akademisi, dan komunitas.
"Kita butuh faktor penyatu yang mampu mendorong lompatan pembangunan. Bukan sekadar program jangka pendek, tapi konsensus pertumbuhan jangka panjang," beber dia.
Baca Juga: Kawasan Industri Karya Indah Diresmikan, Mampu Tampung Ribuan Tenaga Kerja Baru
Persoalan lemahnya dukungan terhadap inovasi juga diangkat oleh Prof. Bustanul Arifin dari Universitas Lampung. Ia mengkritisi minimnya partisipasi swasta dalam pendanaan riset dan terhambatnya implementasi insentif.
"86 persen pendanaan riset masih berasal dari sektor publik. Partisipasi swasta hanya 14 persen. Padahal, inovasi tak bisa berjalan tanpa kemitraan yang kuat," ungkap dia.
Bustanul juga menyinggung persoalan pelaksanaan insentif pajak untuk R&D yang diatur dalam Undang-Undang namun belum optimal dijalankan.
"Undang-Undang sudah mengatur insentif pajak untuk investasi R&D, tapi implementasinya masih jauh dari harapan," ucap dia.
Ia menekankan perlunya pendekatan baru dalam riset dan inovasi, meninggalkan cara-cara top-down yang kerap terjadi di masa lalu.
"Bahkan jika hanya satu atau dua kemitraan yang berhasil, dampaknya bisa sangat besar," tambahnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
-
Viral Atlet Indonesia Lagi Hamil 4 Bulan Tetap Bertanding di SEA Games 2025, Eh Dapat Emas
-
6 HP Snapdragon RAM 8 GB Termurah: Terbaik untuk Daily Driver Gaming dan Multitasking
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
Terkini
-
Negosiasi Tarif Dagang dengan AS Terancam Gagal, Apa yang Terjadi?
-
BRI Rebranding Jadi Bank Universal Agar Lebih Dekat dengan Anak Muda
-
Kemenkeu Matangkan Regulasi Bea Keluar Batu Bara, Berlaku 1 Januari 2026
-
Cara Mengurus Pembatalan Cicilan Kendaraan di Adira Finance dan FIFGROUP
-
Pemerintah Tegaskan Tak Ada Impor Beras untuk Industri
-
CIMB Niaga Sekuritas Kedatangan Bos Baru, Ini Daftar Jajaran Direksi Teranyar
-
Eri Budiono Lapor: Bank Neo Kempit Laba Rp517 Miliar Hingga Oktober 2025
-
IPO SUPA: Ritel Cuma Dapat 3-9 Lot Saham, Ini Penjelasan Lengkapnya
-
OJK Akan Tertibkan Debt Collector, Kreditur Diminta Ikut Tanggung Jawab
-
Mengenal Flexible Futures Pada Bittime untuk Trading Kripto