- SPKS meminta pemerintah tidak terburu-buru menaikkan kadar pencampuran biodiesel dari B40 ke B50 tanpa melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dampak ekonomi.
- Kenaikan program biodiesel ini diyakini akan menekan harga Tandan Buah Segar (TBS).
- Ketua Umum SPKS, Sabarudin, menjelaskan bahwa dengan diberlakukannya B50, pemerintah hampir pasti akan menaikkan Pungutan Ekspor (PE) yang saat ini masih berada di angka 10 persen.
Suara.com - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru menaikkan kadar pencampuran biodiesel dari B40 ke B50 tanpa melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dampak ekonomi di tingkat petani.
Kenaikan program biodiesel ini diyakini akan menekan harga Tandan Buah Segar (TBS) dan menurunkan kesejahteraan jutaan keluarga petani sawit di Indonesia.
Ketua Umum SPKS, Sabarudin, menjelaskan bahwa dengan diberlakukannya B50, pemerintah hampir pasti akan menaikkan Pungutan Ekspor (PE) yang saat ini masih berada di angka 10 persen untuk mendanai subsidi program biodiesel B40. Langkah itu, menurutnya, akan berimbas langsung pada harga sawit di tingkat petani.
“Kalau kadar biodiesel dinaikkan ke B50, maka otomatis tarif Pungutan Ekspor juga naik. Akibatnya harga TBS di tingkat petani bisa turun antara seribu hingga dua ribu rupiah per kilogram. Ini artinya beban subsidi biodiesel justru ditanggung oleh petani yang seharusnya menjadi penerima manfaat,” ujar Sabarudin dikutip Senin (20/10/2025).
Data SPKS tersebut merujuk pada hasil kajian lembaga Pranata UI, yang menunjukkan kenaikan tarif PE sebesar 1 persen dapat menurunkan harga TBS sekitar Rp333 per kilogram. Sementara jika tarif PE dinaikkan hingga 15,17 persen untuk mendanai pelaksanaan B50, harga TBS bisa tertekan hingga Rp1.725 per kilogram.
“Dampak ini paling berat dirasakan oleh petani swadaya yang tidak memiliki posisi tawar kuat. Mereka menanggung penurunan harga tanpa pernah ikut menikmati keuntungan dari program biodiesel yang katanya pro rakyat,” lanjut Sabarudin saat menjadi pembicara dalam seminar Keseimbangan Kebijakan Energi dalam Implementasi Mandatori Biodiesel di Jakarta.
Ia menegaskan bahwa SPKS tidak menolak transisi energi berbasis biodiesel, namun meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pendanaan dan pembagian manfaatnya agar tidak menciptakan ketimpangan baru di sektor sawit.
Meskipun program biodiesel telah dimulai sejak tahun 2015, keterlibatan petani sawit dalam rantai pasok bahan baku biodiesel masih sangat terbatas. Banyak perusahaan biodiesel belum menjalin kemitraan yang adil dengan petani sawit.
Temuan SPKS di empat kabupaten di Provinsi Riau yaitu Siak, Pelalawan, Kampar, dan Rokan Hulu menunjukkan bahwa meskipun terdapat industri biodiesel di wilayah-wilayah tersebut, petani masih menjual tandan buah segar (TBS) melalui tengkulak. Mereka belum dapat menjual langsung ke perusahaan biodiesel atau ke perusahaan kelapa sawit yang terintegrasi dengan industri biodiesel.
Baca Juga: Inovasi Sampah Sawit BWPT Kalahkan Raksasa Global Tesco Hingga Lenovo di New York
Sabarudin mendesak perlunya regulasi yang mewajibkan kemitraan antara perusahaan biodiesel dan petani. Menurutnya, perusahaan biodiesel yang menerima subsidi dari negara seharusnya diwajibkan bermitra langsung dengan petani. Hal ini penting agar petani memperoleh akses pasar yang lebih baik, harga TBS yang lebih layak, serta manfaat langsung dari program biodiesel nasional.
Selama ini, dana pungutan ekspor (PE) yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebagian besar sekitar 90 persen dialokasikan untuk insentif biodiesel. Setiap tahun, nilai subsidi tersebut mencapai antara Rp30 triliun hingga Rp60 triliun.
Ironisnya, dana tersebut berasal dari pungutan yang secara tidak langsung dibebankan kepada petani, karena turut menekan harga sawit yang mereka terima. SPKS menilai sudah saatnya alokasi dana sawit difokuskan untuk meningkatkan produktivitas, kemitraan, dan kesejahteraan petani, bukan hanya menopang industri biodiesel.
“Kalau kemitraan diwajibkan dan dana sawit benar-benar berpihak kepada petani, maka program biodiesel akan menjadi instrumen pemerataan ekonomi dan keadilan energi. Bukan sebaliknya, menjadi beban bagi petani yang selama ini justru menjadi tulang punggung industri sawit nasional,” pungkas Sabarudin.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Body Lotion dengan Kolagen untuk Usia 50-an, Kulit Kencang dan Halus
- 8 Bedak Translucent untuk Usia 50-an, Wajah Jadi Flawless dan Natural
- Sepatu On Cloud Ori Berapa Harganya? Cek 5 Rekomendasi Paling Empuk buat Harian
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- Pemain Keturunan Jerman Ogah Kembali ke Indonesia, Bongkar 2 Faktor
Pilihan
-
Hasil SEA Games 2025: Mutiara Ayu Pahlawan, Indonesia Siap Hajar Thailand di Final
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
Terkini
-
Daftar Kementerian dan Instansi CPNS 2026, Diprediksi Bakal Buka Seleksi
-
BRI Sahabat Disabilitas, Dorong Difabel Berdaya Melalui Kegiatan Pelatihan dan Pemagangan
-
Influencer Tak Bisa Sembarangan, OJK: Harus Jujur Jika Endorse Produk Keuangan
-
Pakar Nilai Pengoperasian SPBU Kantong Bisa Tangani Masalah Stok BBM saat Bencana
-
Singgung SPBU Swasta Ogah Beli Base Fuel dari Pertamina, Bahlil: Jadi Aja Tukang Pijit!
-
Rencana Bandara Kertajati Jadi Pusat Bengkel Pesawat Terwujud, Pembangunan Tahap 1 Jalan
-
Mengenal Skema Ponzi: Dugaan Borok di Balik Bisnis Vendor Ayu Puspita Dinanti
-
Mendag Busan Mulai Kecangkan Ikat Pinggang Jaga Pasokan Bahan Pokok Saat Nataru
-
Ekonomi Melonjak, BP Batam Siapkan Strategi Kurangi Pengangguran
-
Operasi Tambang Emas Terafiliasi Astra International di Tapanuli Dibekukan KLH, Ini Kata Bahlil