Bisnis / Energi
Selasa, 04 November 2025 | 23:17 WIB
Ilustrasi. Proyek pembangunan infrastruktur Jalan Trans Halmahera di Maluku Utara disebut hanya untungkan industri tambang, khususnya nikel. Foto ist.
Baca 10 detik
  • Astuti N Kilwouw, akademisi dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, menilai proyek ambisius ini sejatinya tidak diprioritaskan untuk kepentingan rakyat.
  • Klaim bahwa Jalan Trans Halmahera dibangun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah perlu ditinjau ulang dari kacamata ekonomi makro.
  • Astuti menyebut contoh ruas jalan lintas provinsi di Halmahera Tengah yang dibangun menggunakan pajak rakyat, namun kini menjadi jalur utama kendaraan berat industri nikel.

Suara.com - Proyek pembangunan infrastruktur Jalan Trans Halmahera di Maluku Utara menuai kritik tajam dari kalangan akademisi. 

Astuti N Kilwouw, akademisi dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, menilai proyek ambisius ini sejatinya tidak diprioritaskan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk mempercepat konektivitas dan ekspansi industri tambang di Pulau Halmahera.

Lantas mengapa disebut merugikan rakyat?

Menurut Astuti, klaim bahwa Jalan Trans Halmahera dibangun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah perlu ditinjau ulang dari kacamata ekonomi makro. Ia menyoroti bahwa arah pembangunan infrastruktur di Maluku Utara termasuk jalan, pelabuhan, dan bandara justru lebih terfokus untuk menghubungkan kawasan-kawasan industri nikel yang menjadi pusat hilirisasi nikel nasional.

"Pada kenyataannya, jalan Trans Halmahera yang dibangun tidak diproyeksikan untuk memudahkan aktivitas masyarakat seperti distribusi hasil pertanian, perkebunan, atau komoditas lokal seperti pala, cengkeh, dan kopra," ujar Astuti pada Selasa (4/11/2025).

Ia menegaskan, pembangunan ini "lebih mencerminkan politik oligarki tambang di Maluku Utara, bukan kepentingan rakyat." katanya.

Sorotan lain tertuju pada penggunaan dana publik untuk infrastruktur yang kemudian didominasi oleh perusahaan tambang. Astuti menyebut contoh ruas jalan lintas provinsi di Halmahera Tengah yang dibangun menggunakan pajak rakyat, namun kini menjadi jalur utama kendaraan berat industri nikel.

"Akibat dominasi truk-truk industri nikel, jalan negara yang seharusnya untuk kendaraan umum mengalami kerusakan parah," paparnya.

Mirisnya lanjut dia masyarakat telah merelakan tanah mereka, tempat berdiri pohon pala, cengkeh, dan kelapa berusia puluhan tahun, demi proyek jalan yang awalnya dijanjikan untuk akses mereka sendiri. Namun, pada akhirnya yang menikmati adalah korporasi.

Baca Juga: Kemenkeu: Pertumbuhan Ekonomi Butuh Ekosistem Bisnis yang Kolaboratif dan Berorientasi Inovasi

Astuti pun mendesak agar pemerintah serius mengendalikan dampak ini. "Kalau perusahaan mau lewat, bangun jalan sendiri. Jangan gunakan pajak rakyat untuk memudahkan mobilitas industri tambang," tegasnya.

Dampak aktivitas tambang yang dipermudah oleh infrastruktur ini juga mengancam ketahanan pangan lokal di Halmahera. 

"Di kawasan Wasile, Halmahera Timur, yang dikenal sebagai lumbung padi Maluku Utara, lahan sawah terancam akibat dugaan pencemaran irigasi oleh aktivitas tambang," ujarnya.

Selain itu banyak pohon sagu, yang merupakan bagian dari identitas pangan lokal, hilang akibat ekspansi tambang dan pencemaran sumber air.

Menyikapi masalah ini, Manajer Program WALHI Maluku Utara ini mendesak pemerintah pusat dan DPR RI untuk bertindak tegas. Ia menyerukan agar didorong moratorium atau bahkan penutupan terhadap perusahaan tambang yang bermasalah di Maluku Utara, terutama karena izin diberikan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan di pulau-pulau kecil seperti Halmahera.

"Jadi sebelum bicara jalan baru, pemerintah seharusnya berani hentikan dulu aktivitas tambang yang bermasalah. Kalau tidak, pembangunan infrastruktur apa pun akan terus jadi alat legitimasi bagi ekspansi industri ekstraktif,” tutupnya.

Load More