- Internet Aceh lumpuh pascabencana; operator dituding lalai penuhi standar cadangan daya BTS.
- LBH soroti tanggung jawab hukum operator sesuai UU 36/1999 atas matinya layanan saat darurat.
- Komunikasi vital gagal berfungsi, operator telekomunikasi terancam jerat kelalaian korporasi.
Suara.com - Kelambanan dan potensi kelalaian operator telekomunikasi kembali menjadi sorotan setelah layanan internet di Aceh berulang kali lumpuh di tengah situasi darurat pascabencana.
Pola ini kembali terulang dalam beberapa pekan terakhir pascabanjir dan longsor, ketika akses komunikasi mati hampir tanpa jeda dan menyulitkan masyarakat memperoleh informasi krusial.
Konsultan Hukum dan Mediator PMN LBH Qadhi Malikul Adil, Dr. Bukhari, menilai kondisi tersebut sebagai persoalan serius yang tidak bisa lagi dipahami sebatas gangguan teknis.
“Pasca banjir dan longsor, kita melihat betapa rentannya sistem telekomunikasi di Aceh. Internet langsung blackout begitu listrik terputus. Ini bukan semata persoalan teknis, tetapi menyangkut tanggung jawab hukum dan pelayanan publik,” ujarnya pada Rabu (17/12/2025).
Ia menegaskan, matinya internet setiap kali terjadi gangguan sistem mencerminkan lemahnya kesiapsiagaan operator telekomunikasi di wilayah rawan bencana.
Padahal, layanan komunikasi merupakan infrastruktur vital yang seharusnya tetap berfungsi dalam kondisi krisis.
Fakta di lapangan menunjukkan banyak Base Transceiver Station (BTS) di Aceh tidak dilengkapi cadangan daya yang memadai.
Idealnya, tower telekomunikasi memiliki baterai atau genset yang mampu menopang operasional minimal 4 hingga 8 jam.
Namun pada praktiknya, sebagian BTS hanya bertahan puluhan menit, bahkan ada yang langsung mati ketika pasokan utama terganggu.
Baca Juga: Distribusi BBM di Sebagian Wilayah Aceh Masih Sulit, Pertamina: Kami Terus Untuk Recovery
Dalam kondisi darurat, tanggung jawab operator tidak berhenti pada keberadaan genset semata.
Ketika genset BTS kehabisan bahan bakar, operator seharusnya segera melakukan pengisian ulang.
Jika genset rusak akibat terdampak bencana, penggantian atau perbaikan cepat menjadi kewajiban, bukan opsi.
Ketergantungan berlarut pada pemulihan pihak lain mencerminkan lemahnya manajemen kedaruratan.
Ia menegaskan bahwa kewajiban tersebut bukan pilihan, melainkan tanggung jawab yang melekat pada penyelenggara layanan telekomunikasi.
“Jika tidak dipenuhi, kondisi ini bisa dikategorikan sebagai kelalaian korporasi yang berdampak langsung pada kepentingan dan keselamatan masyarakat,” tambahnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
Pilihan
-
Sriwijaya FC Selamat! Hakim Tolak Gugatan PKPU, Asa Bangkit Terbuka
-
Akbar Faizal Soal Sengketa Lahan Tanjung Bunga Makassar: JK Tak Akan Mundur
-
Luar Biasa! Jay Idzes Tembus 50 Laga Serie A, 4.478 Menit Bermain dan Minim Cedera
-
4 Rekomendasi HP OPPO Murah Terbaru untuk Pengguna Budget Terbatas
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
Terkini
-
Pertamina Rilis Biosolar Performance, BBM Khusus Pabrik
-
UMKM Kini Bisa Buat Laporan Keuangan Berbasis AI
-
Jelang Nataru, Konsumsi Bensin dan LPG Diramal Meningkat, Pertamina Siagakan 1.866 SPBU 24 Jam!
-
Perluas Jangkauan Pelayanan, KB Bank Resmikan Grand Opening KCP Bandung Taman Kopo Indah
-
Distribusi BBM di Sebagian Wilayah Aceh Masih Sulit, Pertamina: Kami Terus Untuk Recovery
-
Bank Modal Pas-pasan di Ujung Tanduk: Mengapa OJK Paksa KBMI I Naik Kelas atau Tutup?
-
Akhiri Paceklik Rugi, Indofarma (INAF) Pasang Target Ambisius: Pendapatan Naik 112% di 2026
-
Nilai Tukar Rupiah Drop Lagi, Ini Pemicunya
-
Usai Resmikan InfraNexia, Telkom (TLKM) Siapkan Entitas B2B ICT Baru
-
Jadwal Libur IHSG Desember 2025 dan Sepanjang Tahun 2026 Lengkap