Bisnis / Makro
Sabtu, 27 Desember 2025 | 10:13 WIB
Kredit menganggur atau undisbursed loan pada Oktober 2025 mencapai Rp2.509,4 triliun atau 23,18 persen dari plafon kredit yang tersedia. Undisbursed loan meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Desain Aldie-Suara.com
Baca 10 detik
  • Kredit nganggur naik ke Rp2.509 T akibat bunga kredit mahal & pengusaha wait and see.
  • Suntikan dana SAL pemerintah tak efektif karena bunga penempatan 4% dinilai terlalu tinggi.
  • Solusi: Tekan bunga deposito, beri insentif bank, dan perkuat penjaminan kredit UMKM.

Suara.com - Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyuntikkan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar ratusan triliun ke bank-bank Himbara awalnya digadang-gadang sebagai "obat kuat" ekonomi. Namun, tiga bulan berselang, hasilnya justru anomali: likuiditas melimpah, tapi kredit justru melambat.

Bukannya mengalir ke pabrik atau UMKM, dana tersebut malah menumpuk di brankas bank.

Apa yang terjadi?

Tiga bulan setelah Purbaya menempatkan dana saldo anggaran lebih (SAL) di bank-bank Himbara, apa yang diimpi-impikan tak kunjung terwujud. Kredit tumbuh semenjana. Fasilitas pinjaman yang belum ditarik (undisbursed loan) atau kredit nganggur, justru naik pada November 2025 menjadi Rp2.509,4 triliun.

Padahal saat memindahkan Rp 200 triliun ke lima bank Himbara, Purbaya sesumbar kredit akan tumbuh tinggi dan mendorong perekonomian. Pada November, Kementerian Keuangan kembali mengguyur Rp 76 triliun ke perbankan untuk mendorong tumbuhnya kredit.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada November, mengatakan tambahan dana itu untuk menggerakkan pertumbuhan kredit dan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat dalam jangka pendek.

“Sehingga sektor riilnya bergerak, di mana kredit yang disalurkan sektor keuangan, sektor perbankan, itu bisa lebih cepat, didukung oleh cost of fund yang lebih rendah,” ujar Febrio.

Tapi yang terjadi, seperti diungkap Bank Indonesia, pertumbuhan kredit perbankan pada November 2025 tercatat 7,74 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 10,79 persen. Angka itu, naik tipis saja dari Oktober yang 7,36 persen.

Apa itu undisbursed loan?

Baca Juga: Anggaran Dikembalikan Makin Banyak, Purbaya Kantongi Rp 10 Triliun Dana Kementerian Tak Terserap

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan undisbursed loan atau kredit nganggur adalah plafon kredit yang sudah disetujui bank, tetapi belum ditarik atau belum dicairkan oleh debitur.

Kondisi ini biasanya disebabkan karena dunia usaha belum merasa perlu mengeksekusi ekspansi. Korporasi cenderung menahan belanja modal dan memilih menyimpan dana di bank, sementara permintaan pembiayaan rumah tangga juga tertahan, sehingga porsi plafon yang tidak jadi ditarik membesar.

Kondisi ini makin tertahan ketika bunga kredit sulit turun karena persaingan dana deposito besar lewat bunga deposito khusus masih tinggi, sehingga biaya pinjaman tetap terasa mahal bagi debitur.

Mengapa kredit nganggur naik?

Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Desember 2025, Rabu (17/12/2025), menjelaskan naiknya undisbursed loan salah satunya disebabkan oleh penyaluran kredit perbankan belum seperti yang diharapkan. Pemicunya, antara lain karena bunga yang tak kunjung turun.

“Permintaan kredit yang belum kuat antara lain dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih wait and see serta penurunan suku bunga kredit yang masih lambat” beber dia.

Ia membeberkan, BI rate sudah turun sebesar 125 basis poin dari awal 2025 hingga November. Tapi suku bunga deposito satu bulan hanya turun sebesar 67 basis poin dari 4,81 persen menjadi 4,15 persen di periode yang sama. Penurunan suku bunga kredit perbankan bahkan lebih lambat, dari 9,20 persen menjadi 8,96 persen - hanya 24 basis poin - di periode yang sama.

Sementara undisbursed loan pada Oktober 2025 mencapai Rp2.509,4 triliun atau 23,18 persen dari plafon kredit yang tersedia. Undisbursed loan meningkat dalam beberapa bulan terakhir: dari Rp2.372 triliun pada Agustus, menjadi Rp2.374,8 triliun di September, melonjak Rp2.450 triliun per Oktober dan naik lagi ke Rp2.509,4 triliun per November.

Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M. Juhro menambahkan penurunan suku bunga perbankan masih lambat karena dampak dana SAL yang diguyur Purbaya masih terbatas.

Kredit menganggur atau undisbursed loan pada Oktober 2025 mencapai Rp2.509,4 triliun atau 23,18 persen dari plafon kredit yang tersedia. Undisbursed loan meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Desain Aldie-Suara.com

Dia bilang menjelaskan injeksi dana tersebut memberikan ruang bagi Himbara untuk lebih leluasa mengelola pendanaan. Tapi bank non-Himbara masih menghadapi tantangan dalam mencari dana, sehingga tekanan biaya pendanaan tetap ada. Situasi ini membuat penurunan suku bunga tidak terjadi secara merata di seluruh industri.

“Rp200 triliun itu kan pasti membuat struktur dana di bank Himbara akan lebih fleksibel. Sementara bank-bank lain di luar Himbara susah mencari dana,” ujar Solikin.

Ia menambahkan perbankan umumnya bekerja berdasarkan rencana bisnis bank (RBB) dan pipeline penyaluran kredit yang sudah disiapkan. Karena itu, penguatan likuiditas idealnya mendorong munculnya kredit baru yang melampaui pipeline yang sudah ada, bukan hanya menopang penyaluran yang telah direncanakan.

Di sisi lain Chief Executive Officer (CEO) Danantara Rosan Roeslani pada Oktober lalu sudah memperingatkan bahwa suku bunga dana SAL di perbankan masih terlalu tinggi. Purbaya sebelumnya mengatakan pemerintah mengenakan bunga 4 persen untuk dana yang ditempatkan di bank-bank Himbara.

“Harapannya, rate-nya mungkin tidak 4 persen atau sekarang 3,8 persen. Karena misalnya seperti di Bank Mandiri, rata-rata dari perbankan kita itu sekitar 2,44 persen. Jadi harapannya bisa lebih rendah dari itu,” ujar Rosan.

Rosan beralasan lebih lanjut bahwa dengan bunga lebih rendah bank-bank bisa lebih leluasa menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih kompetitif untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Kalau rate-nya bisa lebih rendah, otomatis kami bisa memberikan kredit yang lebih rendah lagi kepada UMKM,” katanya.

Demand vs supply

Selain itu, Solikin mengurai laju pertumbuhan kredit 2025 tertahan disebabkan permintaan pembiayaan yang belum kuat. Ia menekankan dari sisi permintaan (demand side), korporasi cenderung masih berhati-hati (wait and see) dalam mengambil keputusan pembiayaan.

Sikap itu tercermin dari tingginya undisbursed loans yang tercatat Rp2.509,4 triliun pada November 2025. Menurut Solikin, sebagian korporasi masih mengandalkan dana internal dan cenderung menunda penarikan kredit karena suku bunga yang dinilai masih relatif tinggi.

Tren serupa juga terlihat pada permintaan kredit rumah tangga. BI menilai hal ini dipengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap peningkatan penghasilan yang belum cukup kuat, sehingga konsumsi berbasis kredit masih tertahan.

“BI sudah banyak memberikan insentif kepada perbankan untuk pembiayaan. Tapi, kalau itu tidak diserap oleh permintaan, ya sama saja,” ujar Solikin.

Penilaian Solikin diamini oleh Kepala Pusat Makroekonomi Indef, Rizal Taufiqurrahman. Ia menilai meningkatnya kredit menganggur di perbankan mencerminkan ketidakseimbangan antara likuiditas yang berlimpah dan lemahnya permintaan kredit dari sektor riil.

Menurut Rizal dari sisi perbankan, dana sebenarnya tersedia dan relatif longgar, seiring pertumbuhan Dana Pihak Ketiga yang masih cukup solid. Namun, dari sisi dunia usaha, terutama UMKM dan industri pengolahan, permintaan kredit belum pulih kuat karena pengusaha masih berhati-hati melihat prospek permintaan, tekanan biaya, serta ketidakpastian ekonomi global.

"Dalam konteks ini, persoalan utamanya bukan kekurangan likuiditas, melainkan terbatasnya permintaan kredit yang benar-benar bankable dan produktif," tekan dia.

Josua juga melihat fenomena serupa. Ia menyoroti kredit UMKM yang mengalami kontraksi dan rasio kredit bermasalah UMKM berada di level yang relatif tinggi, sehingga bank lebih selektif dan proses penyaluran kredit menjadi lebih lambat.

Menurut Josua penempatan dana pemerintah di perbankan diharapkan membantu menurunkan suku bunga. Namun dampak ke kredit tetap bergantung pada apakah dunia usaha dan rumah tangga benar-benar ingin menarik kredit dan apakah bank nyaman menambah risiko.

"Likuiditas tersedia, tetapi permintaan kredit yang berkualitas dan keberanian mengambil risiko belum sejalan," analisis dia.

SAL solusi atau bukan?

Rizal menilai SAL memang bukan penyebab langsung meningkatnya dana menganggur, tetapi memiliki keterkaitan tidak langsung melalui jalur likuiditas.

Penempatan SAL bertujuan menjaga stabilitas pembiayaan APBN dan menekan volatilitas fiskal, bukan untuk mendorong ekspansi kredit. Ketika SAL ditempatkan di sistem keuangan pada saat permintaan kredit sedang lemah, tambahan likuiditas tersebut tidak terserap oleh sektor riil dan justru berputar kembali di instrumen keuangan yang relatif aman.

"Dengan kata lain, SAL masuk pada fase siklus ekonomi yang belum kondusif untuk mendorong penyaluran kredit secara agresif, sehingga efeknya lebih terasa di sektor keuangan daripada sektor produksi," kata Rizal.

Karenanya, lanjut dia, dalam kerangka ini, strategi yang ditempuh oleh Menkeu Purbaya tidak tepat dan tidak efektif. Dari sudut pandang pengelolaan fiskal, strategi tersebut cukup rasional karena membantu menjaga defisit tetap terkendali dan mengurangi tekanan pembiayaan utang.

"Namun dari perspektif transmisi ke pertumbuhan ekonomi, pendekatan tersebut memang belum optimal karena belum diiringi dengan instrumen yang secara aktif menjembatani likuiditas ke sektor produktif, seperti skema penjaminan kredit, pembiayaan campuran, atau insentif risiko untuk sektor padat karya dan manufaktur," ia membeberkan.

Alternatif solusi?

Menurut Rizal fenomena kredit menganggur yang besar menunjukkan kondisi ekonomi yang stabil tetapi belum ekspansif. Likuiditas tersedia, tetapi mesin pertumbuhan belum bekerja penuh karena transmisi ke sektor riil tersendat.

"Tantangan ke depan bukan menambah likuiditas baru, melainkan memperkuat desain kebijakan agar dana yang ada termasuk SAL dimana lebih efektif mengalir ke investasi produktif, sehingga stabilitas makro tetap terjaga sekaligus pertumbuhan ekonomi dapat dipacu secara lebih berkelanjutan," ia menyarankan.

Sementara Josua meliat solusi untuk mendorong kredit adalah adanya dorongan di sisi permintaan dan risiko. Dari sisi permintaan, percepatan belanja pemerintah untuk mendorong konsumsi dan investasi sektor riil penting agar proyek dan penjualan benar-benar bergerak.

Dari sisi harga, praktik bunga deposito special rate perlu ditekan agar biaya dana bank turun dan suku bunga kredit bisa ikut turun.

Dari sisi insentif, pendekatan berbasis kinerja lebih efektif: Bank Indonesia menekankan penguatan insentif likuiditas yang dikaitkan dengan penurunan suku bunga kredit dan penyaluran kredit, plus pemberian imbalan atas penempatan dana bank pada cadangan berlebih agar bank lebih fleksibel mengalihkan kelebihan likuiditas ke sektor riil.

"Dari sisi risiko UMKM, OJK sudah menyiapkan kerangka kemudahan akses pembiayaan UMKM, termasuk penyederhanaan persyaratan, skema khusus sesuai siklus usaha, percepatan proses persetujuan, dan insentif bagi bank yang menyalurkan pembiayaan UMKM, serta usulan reaktivasi perluasan program penghapusan piutang macet UMKM.

"Bila ini dipadukan dengan penjaminan yang lebih kuat dan perbaikan kualitas data debitur, kredit UMKM lebih mungkin tumbuh tanpa menambah lonjakan risiko," tutup Josua.

Load More