Suara.com - Peneliti dari Universitas Ma Chung Malang Leenawaty Limantara, mengungkapkan rumput laut cokelat yang banyak ditemukan di pantai Kabupaten Sumenep, Pulau Madura, mampu menekan obesitas.
"Kami sudah melakukan penelitian di Sumenep dan hasilnya, rumput laut cokelat bisa menjadi obat antiobesitas. Rumput laut ini bisa menjadi harapan baru bagi petani untuk bertahan dari gempuran berbagai produk yang dipasarkan luas di era globalisasi," kata Leenawaty Limantara di Malang, Jawa Timur, Minggu (28/9/2014).
Penelitian yang dilakukan Rektorat Universitas Ma Chung tersebut didanai oleh Alexander Von Humboldt Foundation melalui Ma Chung Research Center for Photosyntetic Pigments (MCRPP) dan menemukan khasiat rumput laut cokelat ini karena seratnya.
Menurut Leenawaty harga rumput laut cokelat lebih mahal dari jenis lain. Harga rumput laut mentah (belum diolah atau dikemas) rata-rata paling tinggi hanya Rp15 ribu per kilogram, namun jika sudah diolah menjadi produk obat-obatan, khususnya obat atau jamu antiobesitas bisa mencapai 4.000 kali dari harga semula.
Ia mengatakan untuk mengembangkan budi daya rumput laut tersebut, pihaknya sudah menjalin kerja sama dengan Pemprov Jatim melalui program inovasi "Sentra Hilir Produk Pigmen Rumput Laut Indonesia".
Jatim dipilih menjadi sentra budi daya dan pengembangan rumput laut cokelat karena berbagai alasan, di antaranya sarana transportasi dan infrastrukturnya cukup memadai.
Memang di daerah lain, seperti Kalimantan, Sulawesi dan wilayah timur Indonesia lainnya juga ada rumput laut cokelat, namun sarana dan prasarana pendukungnya masih belum memadai, sehingga akan menghambat proses atau lalu lintas pergerakan antarwilayah.
Selain itu, kata Leenawaty, pihaknya sudah menandatangani kerja sama dengan Pemprov Jatim, dan juga ditawari kerja sama dengan perusahaan kosmetik Martha Tilaar untuk mengembangkan jamu antiobesitas berbahan dasar rumput laut yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan MCRPP.
Sebenarnya, lanjutnya, di Indonesia banyak sekali spesies tumbuhan yang bisa dikembangkan dan dibudidayakan untuk menjadi bahan baku obat, makanan maupun lainnya, namun tidak terproteksi, sehingga banyak yang hilang dan mati dengan sendirinya. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- 7 Sunscreen yang Wudhu Friendly: Cocok untuk Muslimah Usia 30-an, Aman Dipakai Seharian
- Gugat Cerai Hamish Daud? 6 Fakta Mengejutkan di Kabar Perceraian Raisa
- Pria Protes Beli Mie Instan Sekardus Tak Ada Bumbu Cabai, Respons Indomie Bikin Ngakak!
- 19 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 23 Oktober 2025: Pemain 110-113, Gems, dan Poin Rank Up Menanti
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Tak Sekadar Air Putih, Ini Alasan Artesian Water Jadi Tren Kesehatan Baru
-
Vitamin C dan Kolagen: Duo Ampuh untuk Kulit Elastis dan Imunitas Optimal
-
Smart Hospital, Indonesia Mulai Produksi Tempat Tidur Rumah Sakit yang Bisa 'Baca' Kondisi Pasien
-
Tren Minuman Bernutrisi: Dari Jamu ke Collagen Drink, Inovasi Kesehatan yang Jadi Gaya Hidup Baru
-
Perawatan Komprehensif untuk Thalasemia: Dari Transfusi hingga Dukungan Psikologis
-
Indonesia Kaya Tanaman Herbal, Kenapa Produksi Obat Alami Dalam Negeri Lambat?
-
Supaya Anak Peduli Lingkungan, Begini Cara Bangun Karakter Bijak Plastik Sejak Dini
-
Kemendagri Dorong Penurunan Angka Kematian Ibu Lewat Penguatan Peran TP PKK di Daerah
-
Gaya Hidup Modern Bikin Diabetes di Usia Muda Meningkat? Ini Kata Dokter
-
Saat Kesehatan Mata Jadi Tantangan Baru, Ini Pentingnya Vision Care Terjangkau dan Berkelanjutan