Suara.com - Sesuai namanya, jumlah pengidap penyakit langka di Indonesia sangat sedikit. Namun efek yang ditimbulkan saat menderita penyakit ini lebih berat daripada menjadi pengidap kanker dan HIV AIDS secara bersamaan.
Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif SpA (K), selaku Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM mengatakan, separuh dari pengidap penyakit langka adalah anak-anak.
Gejala yang hampir menyerupai penyakit lain dan pemahaman dokter yang belum merata mengenai penyakit langka, menghambat tegaknya diagnosis yang berujung pada terlambatnya penanganan.
"Biasanya terdiagnosis setelah mengunjungi lebih dari satu dokter, bahkan ada yang sampai 8 dokter baru ketahuan mengidap penyakit langka," ujar dr Damayanti pada temu media peringatan Hari Penyakit Langka di RSCM Kiara, Jakarta Pusat, Selasa (28/2/2017).
Selain sulit didiagnosis, anak yang mengidap penyakit langka di Indonesia harus berhadapan dengan sulitnya akses obat karena tidak diproduksi di Indonesia. Pemerintah pun seakan cuci tangan dan justru mempersulit proses masuknya obat yang diresepkan oleh dokter.
"Pasien sudah gawat tapi obatnya ketahan di bea cukai karena regulasi. Sementara keparahan pasien kan nggak bisa ditahan," tambah dia.
Dr Damayanti pun menceritakan pengalaman pahit mengenai akses obat-obatan yang menghilangkan nyawa pasien bayi bernama Kenes. Pada usia 5 hari bayi Kenes mengalami penurunan kesadaran dan mengeluarkan keringat berbau tak sedap.
Setelah didiagnosis, rupanya Bayi Kenes mengalami kesulitan dalam memetabolisme zat yang terkandung dalam ASI. Karena obat tak tersedia di Indonesia, dr Damayanti pun menghubungi produsen obat di negara lain untuk mendapatkan obat.
"Ketika kita tunggu kok obat nggak datang-datang. Setelah kita kontak produsen ternyata obatnya ketahan di bea cukai. Kita sudah bilang bahwa pengadaan obat ini untuk kasus tak biasa tapi mereka bilang sudah ketentuan regulasi. Akhirnya, kita kehilangan Kenes di usia 20 hari dimana susu itu baru keluar," tambah dia.
Baca Juga: Sperma Menempel di Kulit yang Berkeringat, Matikah?
Agar tak terulang, dr Damayanti berharap agar pemerintah mempermudah regulasi untuk kasus tak biasa seperti ini agar nyawa pasien bisa tertolong.
"Penyakit langka boleh saja langka tapi harapan tidak boleh langka. Dia begitu penting bagi orang lain di sekitarnya," pungkas dia.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Mobil Bekas 50 Jutaan Muat 7-9 Orang, Nyaman Angkut Rombongan
- Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
- Daftar Mobil Bekas yang Harganya Paling Stabil di Pasaran
- 7 Parfum Wangi Bayi untuk Orang Dewasa: Segar Tahan Lama, Mulai Rp35 Ribuan Saja
- 3 Pelatih Kelas Dunia yang Tolak Pinangan Timnas Indonesia
Pilihan
-
6 Tablet Memori 128 GB Paling Murah, Pilihan Terbaik Pelajar dan Pekerja Multitasking
-
Heboh Merger GrabGoTo, Begini Tanggapan Resmi Danantara dan Pemerintah!
-
Toyota Investasi Bioetanol Rp 2,5 T di Lampung, Bahlil: Semakin Banyak, Semakin Bagus!
-
Gagal Total di Timnas Indonesia, Kluivert Diincar Juara Liga Champions 4 Kali
-
Rupiah Tembus Rp 16.700 tapi Ada Kabar Baik dari Dalam Negeri
Terkini
-
Cara Efektif Mencegah Stunting dan Wasting Lewat Nutrisi yang Tepat untuk Si Kecil
-
Kisah Pasien Kanker Payudara Menyebar ke Tulang, Pilih Berobat Alternatif Dibanding Kemoterapi
-
Pengobatan Kanker dengan Teknologi Nuklir, Benarkah Lebih Aman dari Kemoterapi?
-
Data BPJS Ungkap Kasus DBD 4 Kali Lebih Tinggi dari Laporan Kemenkes, Ada Apa?
-
Camping Lebih dari Sekadar Liburan, Tapi Cara Ampuh Bentuk Karakter Anak
-
Satu-satunya dari Indonesia, Dokter Ini Kupas Potensi DNA Salmon Rejuran S di Forum Dunia
-
Penyakit Jantung Masih Pembunuh Utama, tapi Banyak Kasus Kini Bisa Ditangani Tanpa Operasi Besar
-
Nggak Sekadar Tinggi Badan, Ini Aspek Penting Tumbuh Kembang Anak
-
Apoteker Kini Jadi Garda Terdepan dalam Perawatan Luka yang Aman dan Profesional
-
3 Skincare Pria Lokal Terbaik 2025: LEOLEO, LUCKYMEN dan ELVICTO Andalan Pria Modern