Suara.com - Seringkali kita menyamakan definisi fast food atau makanan cepat saji dengan junk food atau makanan sampah. Padahal, keduanya memiliki perbedaan dari segi gizi dan bentuknya.
Guru Besar Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Ali Khomsan, menjelaskan perbedaan dari dua kelompok makanan ini. Fast food, kata dia, merujuk pada makanan cepat saji yang tinggi kandungan garam dan lemak, namun rendah serat.
"Fast food hadir karena adanya revolusi industri dimana orang bekerja dalam waktu lama namun waktu istirahat sangat terbatas. Awal mulanya berupa snack bar tapi kini bentuknya sudah beragam mulai dari ayam goreng, pizza, burger, dan lainnya," jelas Prof Ali pada sesi Journalist Goes to Campus bersama Danone di Bogor, Rabu (23/8/2017).
Seiring dengan semakin banyaknya pasangan yang bekerja, dan waktu untuk mengolah makanan di rumah menjadi terbatas, industri Fast Food pun meningkat. Kandungan natrium dalam bentuk MSG yang tinggi dalam makanan cepat saji membuat orang menjadi ketagihan.
"Itu sebabnya di negara maju, konsumsi fast food menyumbang kasus obesitas yang sangat tinggi, ditambah minuman pendampingnya yakni minuman bersoda yang mengandung banyak gula," ungkapnya.
Lalu, berapa kali idealnya mengonsumsi fast food yang tergolong aman bagi kesehatan? Prof Ali mengatakan, tentu saja konsumsi fast food yang terlalu sering akan menimbulkan masalah bagi kesehatan. Namun, jika dilakukan dalam frekuensi satu hingga dua kali dalam sebulan, cukup aman bagi kesehatan.
"Yang penting jangan pumya semboyan tiada hari tanpa fast food. Di Indonesia kita ke fast food kalau ke mal saja, misal sekali dua kali dalam sebulan saya rasa tidak masalah," imbuhnya.
Sedangkan junk food atau makanan sampah, merujuk pada makanan tinggi kalori namun zat gizinya rendah atau bahkan tidak ada contohnya keripik. Itu sebabnya Prof Ali mengimbau agar masyarakat pintar memilih jenis makanan yang akan dikonsumsi.
"Jadi segala macam keripik-keripik dan snack masuk ke junk food. Kalau mau snack yang relatif sehat itu kacang-kacangan, karena kalorinya rendah, tapi tinggi protein," tandasnya.
Baca Juga: Hati-hati! Bahaya Mengintai di Balik Pembungkus "Fast Food"
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- Bobibos Bikin Geger, Kapan Dijual dan Berapa Harga per Liter? Ini Jawabannya
- 6 Rekomendasi Cushion Lokal yang Awet untuk Pekerja Kantoran, Makeup Anti Luntur!
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
Pilihan
-
Pakai Bahasa Pesantren! BP BUMN Sindir Perusahaan Pelat Merah Rugi Terus: La Yamutu Wala Yahya
-
Curacao dan 10 Negara Terkecil yang Lolos ke Piala Dunia, Indonesia Jauh Tertinggal
-
Danantara Soroti Timpangnya Setoran Dividen BUMN, Banyak yang Sakit dan Rugi
-
Mengapa Pertamina Beres-beres Anak Usaha? Tak Urus Lagi Bisnis Rumah Sakit Hingga Hotel
-
Pandu Sjahrir Blak-blakan: Danantara Tak Bisa Jauh dari Politik!
Terkini
-
Teknologi Jadi Kunci: Ini Pendekatan Baru Cegah Stunting dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
-
Gak Perlu Marah di Grup WA Lagi, Call Centre 127 Siap Tampung Keluhan Soal Program MBG
-
5 Pilihan Sampo untuk Dermatitis Seboroik, Mengatasi Gatal dan Kulit Kepala Sensitif
-
Alasan Penting Dokter Bukan Cuma Perlu Belajar Pengobatan, Tapi Juga 'Seni' Medis
-
Dokter Kandungan Akui Rahim Copot Nyata Bisa Terjadi, Bisakah Disambungkan Kembali?
-
Klinik Safe Space, Dukungan Baru untuk Kesehatan Fisik dan Mental Perempuan Pekerja
-
Mengubah Cara Pandang Masyarakat Terhadap Spa Leisure: Inisiatif Baru dari Deep Spa Group
-
Terobosan Baru Lawan Kebutaan Akibat Diabetes: Tele-Oftalmologi dan AI Jadi Kunci Skrining
-
5 Buah Tinggi Alkali yang Aman Dikonsumsi Penderita GERD, Bisa Mengatasi Heartburn
-
Borobudur Marathon Jadi Agenda Lari Akhir 2025