Suara.com - Cacar monyet atau monkeypox menjadi pemberitaan belakangan ini, menyusul ditemukannya kasus di Singapura belum lama ini. Gejalanya sendiri berupa demam, sakit kepala hebat, limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening), nyeri punggung, nyeri otot, dan lemas.
Seperti kasus cacar pada umumnya, cacar monyet juga meninggalkan ruam pada kulit yang muncul pertama di bagian wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Disampaikan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono, gejala yang timbul berupa ruam ini berkembang mulai dari bintik merah seperti cacar, lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah, kemudian mengeras. Biasanya diperlukan waktu hingga 3 minggu sampai ruam tersebut menghilang.
"Masa inkubasi atau interval dari infeksi sampai timbulnya gejala monkeypox biasanya 6-16 hari, tetapi dapat berkisar dari 5- 21 hari," ujar dr. Anung ketika dihubungi Suara.com, Senin (13/5/2019).
Meski tampak langka dan menghebohkan, Anung menegaskan bahwa kondisi cacar monyet atau monkeypox merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri dengan gejala yang berlangsung selama 14-21 hari.
"Kasus yang parah lebih sering terjadi pada anak-anak dan terkait dengan tingkat paparan virus, status kesehatan pasien dan tingkat keparahan komplikasi. Kasus kematian bervariasi tetapi kurang dari 10 persen kasus yang dilaporkan, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak," imbuhnya.
Diagnosia Monkeypox sendiri, kata Anung, hanya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium. Sementara untuk pengobatannya, ia menjelaskan, sebenarnya tidak ada pengobatan khusus atau vaksinasi yang tersedia untuk infeksi virus monkeypox.
"Pengobatan simptomatik dan supportif dapat diberikan untuk meringankan keluhan yang muncul saja," imbuhnya.
Cacar monyet sendiri pernah menjadi kejadian luar biasa di beberapa negara. Pada 1970 lalu, terjadi kejadian luar biasa pada manusia pertama kali di Republik Demokratik Kongo. Kemudian pada 2003 dilaporkan kasus cacar monyet di Amerika Serikat, akibat riwayat kontak manusia dengan binatang peliharaan prairie dog yang terinfeksi oleh tikus Afrika yang masuk ke Amerika.
Baca Juga: Heboh di Singapura, Ini Cara Penularan, Gejala dan Pencegahan Cacar Monyet
Selanjutnya pada 2017 lalu juga terjadi kejadian luar biasa di Nigeria. Yang terbaru, pada awal Mei 2019 lalu dilaporkan seorang warga negara Nigeria menderita Monkeypox, saat mengikuti lokakarya di Singapura. Saat ini pasien dan 23 orang yang kontak dekat dengannya diisolasi untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 6 Shio Ini Diramal Paling Beruntung dan Makmur Pada 11 Desember 2025, Cek Kamu Salah Satunya?
- Kode Redeem FC Mobile 10 Desember 2025: Siap Klaim Nedved dan Gems Melimpah untuk Player F2P
Pilihan
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
Terkini
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi
-
Pola Hidup Sehat Dimulai dari Sarapan: Mengapa DIANESIA Baik untuk Gula Darah?
-
Dapur Sehat: Jantung Rumah yang Nyaman, Bersih, dan Bebas Kontaminasi
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat
-
Di Balik Prestasi Atlet, Ada Peran Layanan Kesehatan yang Makin Krusial
-
Terobosan Baru Pengobatan Diabetes di Indonesia: Insulin 'Ajaib' yang Minim Risiko Gula Darah Rendah
-
Di Balik Krisis Penyakit Kronis: Mengapa Deteksi Dini Melalui Inovasi Diagnostik Jadi Benteng Utama?