Suara.com - Bisakah Platform Digital Jadi Solusi Bagi Pasien Depresi?
Menjadi ironi, di saat gadget dan teknologi memicu depresi. Kini pola konsultasi dengan pakar medis dan dokter malah bisa dilakukan melalui platform digital dengan chatting, tanpa dokter dan pasien saling bertatap muka.
Tapi bagaimana jika metode itu digunakan untuk pasien dengan depresi, efektifkah?
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Dr. dr. Diah Setia Utami, Sp.KJ(K), MARS mengatakan pola pengobatan untuk depresi memerlukan pasien bertemu pakar medis secara langsung, dibanding gadget yang bersifat terbatas.
"Kita (pasien dan dokter) harus lobbying and touching, kita harus punya hubungan. Jika kebanyakan hubungan pakai gadget dan itu tidak efektif pengobatannya, kita harus tetap tatap muka dan konsultasi," ujar Dr. Diah di Hotel Pullmam, Jakarta Pusat, Jumat (22/11/2019).
Ahli Psikosomatik, dr. Andri, Sp.KJ, FCLP yang biasa menangani dan menterapi orang dengan gangguan mental seperti depresi. Ia mengaku merasa miris dengan sistem pembelian obat yang bisa membeli lewat e-commerce, padahal sebagian besar obat tidak diperjualbelikan bebas, dan harus melalui resep dokter.
"Betapa mudahnya orang beli obat golongan benzoil bahkan hingga obat bius sekalipun dijual melalui e-commerce dan secara online," ungkap dr. Andri.
Karena dibuat gemas, dr. Andri bersama rekan dokter lainnya pernah melayangkan protes kepada BPOM untuk membuat aturan penyebaran obat tanpa resep dokter ini. Tapi sayang jawaban BPOM tidak memuaskan dan tidak adanya kepastian.
"Kita mention ke Badan POM, tapi jawabannya masih seperti biasanya, alasannya agak sulit di online, kalau apotek kita bisa kasih tindakkan," jelasnya.
Baca Juga: Dokter Sebut Tidak Banyak Orang yang Tahu Gejala Depresi, Simak Rinciannya!
Dr. Andri mengatakan obat antidepresi tidak bisa sembarangan diresepkan, bahayanya selain akan membuat ketergantungan karena dosisnya tidak tepat, pasien juga bisa mengonsumsi obat palsu.
"Meresepkan itu tugasnya dokter, kalau satu golongan obat laku di jual di e-commerce hati-hati takutnya palsu. Tanpa pengawasan dokter ketergantungan atau nggak bisa lepas, itu lebih sulit," tutup Dr. Andri.
Berita Terkait
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Gaya Hidup Anak Muda: Nongkrong, Makan Enak, Tapi Kolesterol Jangan Lupa Dicek
-
Jaringan Layanan Kesehatan Ini Dorong Gaya Hidup Sehat Lewat Semangat "Care in Every Step"
-
Rekomendasi Minuman Sehat untuk Kontrol Diabetes, Ini Perbandingan Dianesia, Mganik dan Flimeal
-
Akses Perawatan Kanker Lebih Mudah dengan Fasilitas Radioterapi Modern
-
SEA Games Thailand 2025: Saat Kenyamanan Jadi Bagian dari Performa Atlet Indonesia
-
Gatam Institute Eka Hospital Buktikan Operasi Lutut Robotik Kelas Dunia Ada di Indonesia
-
Teknologi Kesehatan Makin Maju: CT Scan Generasi Baru Percepat Diagnostik dan Tingkatkan Kenyamanan
-
Mengapa Air Minum Hasil Distilasi Lebih Aman untuk Kesehatan? Begini Penjelasannya
-
Temuan Baru tentang Polifenol Spearmint: Pendukung Alami Memori, Konsentrasi, hingga Kinerja Mental
-
Dari Alat Medis hingga Kesehatan Digital, Indonesia Mempercepat Transformasi Layanan Kesehatan