Suara.com - Saat sakit dan berobat ke dokter, selain memberi resep obat, dokter biasanya akan memberi sederet nasehat termasuk soal pantangan makan. Tujuannya, agar penyakit yang diderita pasien bisa lebih cepat pulih.
Tapi seringkali, karena alasan tidak berselera makan, kita jadi sering melanggar pantangan makan yang diberikan dokter. Adakah efeknya?
Seorang pakar Naturopathic Medicine, Joshua S. Lie, ND, BHSc (CompMed), mengatakan bahwa ia biasanya melakukan cross check terlebih dahulu kepada pasien apakah pantangan makan yang diberikannya sesuai dengan yang dialami pasien atau bisakah diterima berdasarkan logika.
"Zaman sekarang bisa cek di Google apakah nasehatnya itu make sense atau nggak, kalau misalnya nasehatnya make sense, ya jalankan dengan baik," ujarnya ketika ditemui Suara.com beberapa waktu lalu di Jakarta.
Joshua mengatakan, yang dikhawatirkan dari banyaknya pantangan makan, akan membuat pasien tidak berselera makan, lalu yang terjadi justru pasien mengalami malnutrisi.
"Kalau misalnya ada pantangan-pantangan, kayaknya kebanyakan pantangan makan, nanti malah malnutrisi. Kalau kamu ingin lebih yakin lagi, lakukanlah X laboratorium tes sensitivity, IgG (Immunoglobulin G)," jelas Joshua.
Ada dua jenis IgG yang menonjol pada makanan, yakni seseorang akan langsung bereaksi saat alergi terhadap sesuatu makanan, seperti muka bengkak, gatal, atau reaksi spontan lainnya. Itu adalah reaksi umum dan tidak begitu mengkhawatirkan karena bisa terlihat. Justru yang berbahaya adalah saat gejalanya tidak terlihat dan hasil akumulasi atau penumpukkan yang terus menerus.
"Yang khawatir adalah yang IgG itu, ketika kita konsumsi nggak langsung bereaksi, bisa jadi kerasanya itu 2 hari sampai 3 hari kemudian," paparnya.
Efek akumulasi biasanya berimbas pada pencernaan atau penyakit dalam, seperti penumpukkan gas dalam lambung. Gejalanya terlihat kembung dan seperti masuk angin biasa, tapi jika dibiarkan bisa menyebabkan efek berbahaya lainnya.
Baca Juga: Ratu Inggris Rilis 14 Jenis Makanan Pantangan untuk Meghan Markle
"Ternyata bisa sebabkan inflamasi dari tubuh. Nggak yang bengkak-bengak, tapi itu kecil-kecil yang mikro dalam tubuh itu berbahaya, karena kita nggak tahu, berkelanjutan terus menerus. Seperti ada percikan dalam tubuh, terjadi oksidasi, akhirnya kaya kanker, jadi perperangan dalam tubuh," tutupnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Maarten Paes: Pertama (Kalahkan) Arab Saudi Lalu Irak, Lalu Kita Berpesta!
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
Terkini
-
Rahasia Awet Muda Dibongkar! Dokter Indonesia Bakal Kuasai Teknologi Stem Cell Quantum
-
Belajar dari Kasus Ameena, Apakah Permen Bisa Membuat Anak Sering Tantrum?
-
Bukan Sekadar Gadget: Keseimbangan Nutrisi, Gerak, dan Emosi Jadi Kunci Bekal Sehat Generasi Alpha
-
Gerakan Kaku Mariah Carey saat Konser di Sentul Jadi Sorotan, Benarkah karena Sakit Fibromyalgia?
-
Di Balik Rak Obat dan Layar Digital: Ini Peran Baru Apoteker di Era Kesehatan Modern
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru