Suara.com - Kembang api akan selalu menyertai setiap perayaan. Di Indonesia, kembang api biasa dinyalakan saat menjelang Idulfitri serta malam tahun baru.
Meski terlihat menyenangkan, kembang pai ternyata memiliki dampak kesehatan serius. Sekali mendengar ledakan kembang api memang tidak begitu berbahaya, tetapi jika terjadi berulang akan ada dampak buruk.
Dr. Jessica Stern, psikolog klinis di NYU Langone's Steven A. Cohen Military Family Center, menjelaskan efek jangka panjang dari kembang api kepada Insider.
1. Memicu perasaan lekas marah, sulit berkonsentrasi dan sulit tidur
"Kembang api dapat mengganggu saat akan atau sedang tidur, apalagi jika ledakan kembang api menyebabkan respon mengejutkan yang bertahan lebih lama," kata Stern.
"Demikian pula, ketika kembang api dinyalakaan tepat waktu tidur, ini dapat menyebabkan orang lebih waspada pada waktu tidur," sambungnya.
Kurang tidur akibat kewaspadaan ini berdampak pada hal lain, seperti mengurangi fokus dan ingatan jangka pendek pada hari berikutnya.
"Bagi orang yang merasa ledakan kembang api menyebabkan stres, kecemasan, atau lekas marah, ini dapat memengaruhi suasana hati. Sebab, stres dapat memengaruhi kesehatan, menyebabkan kelelahan atau ketegangan pada pikiran serta tubuh," sambungnya.
2. Stres dan kegelisahan melemahkan sistem kekebalan tubuh dan kemampuannya melawan penyakit
Baca Juga: Ketahui Voyeur, Tukang Intip yang Punya Gangguan Psikologis
Banyak studi menunjukkan dampak kurang tidur pada kesehatan fisik dan fungsi kognitif.
"Bagi orang yang merasa kembang api berdampak pada tidur, kualitas tidur yang buruk dapat memengaruhi banyak segi kesehatan, seperti perasaan lelah, mengalami ketegangan tubuh, dan sakit kepala," jelas Stren.
Studi 2017 pada anak kembar menemukan hubungan antara kurang tidur dan rendahnya sistem kekebalan tubuh, meningkatkan risiko gangguan imflamasi, masalah pencernaan, dan penyakit umum.
3. Berdampak buruk pada orang dengan PTSD, autisme, dan kondisi lain yang menyebabkan sensivitas terhadap suara
"Untuk beberapa dari orang-orang ini, termasuk orang-orang yang terpapar jenis trauma lain, suara-suara ini dapat mengingatkannya pada ancaman dan dapat secara instan mengaktifkan detektor ancaman di otak," jelas Stern.
"Ini mungkin berlaku juga untuk orang-orang dengan kecemasan, autisme, dan individu-individu lain yang sensitif terhadap suara atau rentan terhadap sensorik yang berlebihan," tandasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Kumpulan Prompt Siap Pakai untuk Membuat Miniatur AI Foto Keluarga hingga Diri Sendiri
- Terjawab Teka-teki Apakah Thijs Dallinga Punya Keturunan Indonesia
- Bakal Bersinar? Mees Hilgers Akan Dilatih Eks Barcelona, Bayern dan AC Milan
- Gerhana Bulan Langka 7 September 2025: Cara Lihat dan Jadwal Blood Moon Se-Indo dari WIB-WIT
- Geger Foto Menhut Raja Juli Main Domino Bareng Eks Tersangka Pembalakan Liar, Begini Klarifikasinya
Pilihan
-
Nomor 13 di Timnas Indonesia: Bisakah Mauro Zijlstra Ulangi Kejayaan Si Piton?
-
Dari 'Sepupu Raisa' Jadi Bintang Podcast: Kenalan Sama Duo Kocak Mario Caesar dan Niky Putra
-
CORE Indonesia: Sri Mulyani Disayang Pasar, Purbaya Punya PR Berat
-
Sri Mulyani Menteri Terbaik Dunia yang 'Dibuang' Prabowo
-
Surat Wasiat dari Bandung: Saat 'Baby Blues' Bukan Cuma Rewel Biasa dan Jadi Alarm Bahaya
Terkini
-
Surfing Jadi Jalan Perempuan Temukan Keberanian dan Healing di Laut
-
Bayi Rewel Bikin Stres? Rahasia Tidur Nyenyak dengan Aromaterapi Lavender dan Chamomile!
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas
-
Resistensi Antimikroba Ancam Pasien, Penggunaan Antibiotik Harus Lebih Cerdas
-
Ini Alasan Kenapa Donor Darah Tetap Relevan di Era Modern
-
Dari Kegelapan Menuju Cahaya: Bagaimana Operasi Katarak Gratis Mengubah Hidup Pasien
-
Jangan Sepelekan, Mulut Terbuka Saat Tidur pada Anak Bisa Jadi Tanda Masalah Kesehatan Serius!
-
Obat Sakit Gigi Pakai Getah Daun Jarak, Mitos atau Fakta?