Suara.com - Sebuah studi baru dari University of Michigan menunjukkan risiko kematian pada pasien Covid-19 yang sakit kritis dan menerima dosis tunggal tocilizumab intravena menurun 45 persen.
Pasien juga lebih mungkin untuk pulih atau tidak menggunakan ventilator lagi pada satu bulan setelah perawatan apabila menerima obat tersebut, kata peneliti.
Dilansir The Health Site, penelitian ini menunjukkan obat tocilizumab intravena menenangkan badai sitokin, kondisi ketika sistem kekebalan tubuh terlalu aktif yang disebabkan oleh infeksi Covid-19.
Meski begitu, fakta bahwa mereka juga dua kali lebih mungkin untuk mengembangkan infeksi tambahan, di atas virus corona, tetap tidak terelakkan.
Untuk sampai pada kesimpulan ini, peneliti melihat data dari 154 pasien sakit kritis yang dirawat di Michigan Medicine, pusat medis akademik U-M, selama enam minggu pertama pandemi virus corona di Michigan dari awal Maret hingga akhir April.
Selama waktu itu, ketika sedikit yang diketahui tentang apa yang akan menolong pasien Covid-19, sekitar setengah dari pasien yang diteliti menerima obat radang sendi tocilizumab dan setengahnya tidak. Sebagian besar menerimanya dalam periode 24 jam di antara waktu intubasi.
Selama studi, peneliti melihat pada akhir periode 28 hari setelah pasien menggunakan ventilator, 18 persen dari mereka yang menerima tocilizumab telah meninggal, lebih sedikit dibandingkan dengan 36 persen dari mereka yang tidak.
Ketika disesuaikan dengan karakteristik kesehatan, ini mewakili penurunan 45 persen dalam angka kematian.
Dari mereka yang masih di rumah sakit pada akhir masa studi, 82 persen pasien tocilizumab telah lepas dari ventilator, lebih banyak dibandingkan dengan 53 persen dari mereka yang tidak menerima obat.
Baca Juga: Cegah Covid-19, PMI Imbau Masyarakat Jaga Sirkulasi Udara di Rumah
Secara keseluruhan, 54 persen pasien tocilizumab mengembangkan infeksi sekunder, kebanyakan pneumonia terkait ventilator dan 26 persen dari mereka yang tidak menerima tocilizumab mengembangkan infeksi semacam itu.
'Superinfeksi' semacam itu biasanya mengurangi peluang untuk bertahan hidup bagi pasien Covid-19.
Studi ini diterbitkan dalam jurnal peer-review Clinical Infectious Diseases setelah tersedia sebagai pracetak bulan lalu.
Berita Terkait
Terpopuler
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
Terkini
-
Belajar dari Kasus Ameena, Apakah Permen Bisa Membuat Anak Sering Tantrum?
-
Bukan Sekadar Gadget: Keseimbangan Nutrisi, Gerak, dan Emosi Jadi Kunci Bekal Sehat Generasi Alpha
-
Gerakan Kaku Mariah Carey saat Konser di Sentul Jadi Sorotan, Benarkah karena Sakit Fibromyalgia?
-
Di Balik Rak Obat dan Layar Digital: Ini Peran Baru Apoteker di Era Kesehatan Modern
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?