Suara.com - Tiga ilmuwan, yakni dua dari Amerika Serikat dan satu dari Inggris, telah dianugerahi Hadiah Nobel Kedokteran 2020 karena menemukan virus penyebab infeksi hepatitis C.
Harvey J. Alter, Charles M. Rice, dan Michael Houghton bersama-sama memenangkan hadiah untuk penelitian individu mereka tentang virus, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dilansir dari Insider, hepatitis C kronis sering menyebabkan kanker hati atau sirosis (jaringan parut pada hati). Pada 2016, infeksi ini telah menyebabkan 400.000 orang meninggal.
Temuan dari ketiga ilmuwan tersebut membantu ilmuwan lain dalam menentukan pencegahan dan pengobatannya, kemudian dapat menurunkan jumlah kasusnya.
"Ini sudah lama tertunda. Hepatitis C bisa dibilang telah menyebabkan banyak kematian daripada pandemi virus corona saat ini. Itu adalah masalah besar dan (studi) ini adalah langkah maju yang sangat besar," ujar Gilbert Thompson, profesor emeritus lipidologi klinis di Imperial College London.
Ketiga pemenang mendapatkan 10 juta kronor Swedia atau sekitar Rp14,8 miliar.
Empat dekade penelitian
Selama empat dekade, Alter, Rice, dan Houghton masing-masing menyumbangkan temuan penting mereka.
Pada 1977, Alter, seorang peneliti di National Institutes of Health di Bethesda, Maryland, menemukan hepatitis C (saat itu nama hepatitis C belum ditentukan), dapat ditularkan melalui darah saat bereksperimen pada simpanse.
Baca Juga: Jangan Remehkan Hepatitis A pada Anak! Ini Risiko dan Cara Mencegahnya
Kemudian, Houghton menggunakan pengurutan genetik pada 1980-an untuk menentukan hepatitis C adalah infeksi sendiri, dan berbeda dari virus hepatitis A dan B.
Pada tahun 1997, Rice melakukan penelitian pada simpanse, dan menemukan virus hepatitis C saja dapat menyebabkan infeksi hepatitis C, dan tidak ada virus lain yang terlibat.
Ketiga penemuan ini secara signifikan mengurangi jumlah infeksi hepatitis C yang menyebar melalui transfusi darah dan jarum suntik yang terinfeksi.
Hal ini juga mendongkrak pengembangan perawatan antivirus yang dapat menyembuhkan 95 persen penderita hepatitis C.
Namun, tingkat infeksi tetap tinggi di negara seperti Mesir, Suriah, Pakistan, dan Taiwan, di mana pengobatan hepatitis C seringkali terlalu mahal.
Itulah sebabnya, menurut ahli virus di Univeritsas Kopenhagen yang juga mempelajari hepatitis C Jens Bukh, perlunya penemuan vaksin.
Berita Terkait
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Dicopot
- Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
- Viral Murid SD Kompak Tolak Makan Gratis, Anak-Anak Jujur Masalahnya di Menu?
Pilihan
-
3 Kontroversi Purbaya Yudhi Sadewa di Tengah Jabatan Baru sebagai Menteri
-
Indonesia di Ujung Tanduk, Negara Keturunan Jawa Malah Berpeluang Lolos ke Piala Dunia 2026
-
5 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan Memori 256 GB, Terbaru September 2025
-
IHSG Jeblok Hingga 1 Persen di Sesi I Perdagangan Selasa Setelah Sertijab Menteri Keuangan
-
19 Tewas di Aksi Demo Anti Korupsi, Eks Persija Jakarta: Pemerintah Pembunuh!
Terkini
-
Rusia Luncurkan Vaksin EnteroMix: Mungkinkah Jadi Era Baru Pengobatan Kanker?
-
Skrining BPJS Kesehatan: Panduan Lengkap Deteksi Dini Penyakit di Tahun 2025
-
Surfing Jadi Jalan Perempuan Temukan Keberanian dan Healing di Laut
-
Bayi Rewel Bikin Stres? Rahasia Tidur Nyenyak dengan Aromaterapi Lavender dan Chamomile!
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas
-
Resistensi Antimikroba Ancam Pasien, Penggunaan Antibiotik Harus Lebih Cerdas
-
Ini Alasan Kenapa Donor Darah Tetap Relevan di Era Modern
-
Dari Kegelapan Menuju Cahaya: Bagaimana Operasi Katarak Gratis Mengubah Hidup Pasien