Suara.com - Pandemi Covid-19 sudah menemukan titik terang dengan adanya vaksin yang mulai disuntikkan kepada masyarakat di seluruh dunia.
Namun di balik itu, masih ada masalah kesehatan mental yang menjadi momok setelah pandemi virus corona berakhir.
"Kami mengalami kurangnya pemasukan dan tekanan ekonomi, ketakutan akan penyakit, semua rutinitas kita terganggu, tetapi ada kesedihan yang nyata dalam semua itu," kata Lisa Carlson, mantan presiden Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika (APHA).
Ia menambahkan bahwa tidak ada 'vaksin' untuk kesehatan mental sehingga untuk keluar dari masalah ini perlu waktu cukup lama.
Berdasarkan perjuangan mental yang dialami oleh banyak orang pada 2020, berikut ini adalah beberapa masalah yang harus diantisipasi oleh profesional kesehatan mental di 2021.
Tidak lagi terinfeksi, tetapi masih sakit
Efek jangka panjang dari Covid-19 tidak hanya pada masalah fisik saja, tetapi penderita juga kesehatan mental mereka.
Inilah yang terjadi pada long hauler, pasien yang sudah sembuh dari Covid-19 namun masih mengeluhkan gejala yang dianggap sebagai 'sisa Covid'.
Selama pandemi kekhawatiran psikologis sebagian besar fokus pada kecemasan dan tindakan karantina, dan sebuah penelitian mengatakan bahwa gelombang kedua dari morbiditas psikologis akibat Covid-19 mungkin akan segera terjadi.
Baca Juga: Pejabat AS Klaim Teori Virus Corona Bocor dari Laboratorium Wuhan
Carlson mengatakan bahwa orang lain mengira pasien Covid-19 akan sembuh dalam jangka waktu tertentu, kemudian pasien akan membaik. Namun, tidak pada long hauler.
"Orang-orang long hauler yang sudah berbulan-bulan sakit, (hal itu) jauh melampaui harapan mereka sendiri atau orang lain terhadap mereka," tutur Carlson.
Calson menambahkan bahwa masalah itu dapat menimbulkan masalah kesehatan mental tersendiri.
"Itu benar-benar menyebabkan perjuangan bagi mereka dan orang yang dicintai, dan bagaimana perasaan mereka terhadap perasaan orang lain kepada mereka," lanjutnya.
Beberapa gangguan berkembang selama isolasi
Tanpa dukungan, pemulihan beberapa orang dengan gangguan makan dan penyalahgunaan obat terlarang mengalami hambatan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
- 7 Sepatu Murah Lokal Buat Jogging Mulai Rp100 Ribuan, Ada Pilihan Dokter Tirta
Pilihan
-
Indosat Gandeng Arsari dan Northstar Bangun FiberCo Independent, Dana Rp14,6 Triliun Dikucurkan!
-
Kredit Nganggur Tembus Rp2,509 Triliun, Ini Penyebabnya
-
Uang Beredar Tembus Rp9891,6 Triliun per November 2025, Ini Faktornya
-
Pertamina Patra Niaga Siapkan Operasional Jelang Merger dengan PIS dan KPI
-
Mengenang Sosok Ustaz Jazir ASP: Inspirasi di Balik Kejayaan Masjid Jogokariyan
Terkini
-
Ketika Anak Muda Jadi Garda Depan Pencegahan Penyakit Tak Menular
-
GTM pada Anak Tak Boleh Dianggap Sepele, Ini Langkah Orang Tua untuk Membantu Nafsu Makan
-
Waspada! Pria Alami Sperma Kosong hingga Sulit Punya Buat Hati, Dokter Ungkap Sebabnya
-
Standar Global Layanan Kesehatan Kian Ditentukan oleh Infrastruktur Rumah Sakit
-
Gaya Hidup Anak Muda: Nongkrong, Makan Enak, Tapi Kolesterol Jangan Lupa Dicek
-
Jaringan Layanan Kesehatan Ini Dorong Gaya Hidup Sehat Lewat Semangat "Care in Every Step"
-
Rekomendasi Minuman Sehat untuk Kontrol Diabetes, Ini Perbandingan Dianesia, Mganik dan Flimeal
-
Akses Perawatan Kanker Lebih Mudah dengan Fasilitas Radioterapi Modern
-
SEA Games Thailand 2025: Saat Kenyamanan Jadi Bagian dari Performa Atlet Indonesia
-
Gatam Institute Eka Hospital Buktikan Operasi Lutut Robotik Kelas Dunia Ada di Indonesia