Suara.com - Tingkat kematian akibat Covid-19 dianggap tidak melulu selaras dengan tingkat kemampuan ekonomi suatu wilayah.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban yang mengatakan bahwa kondisi ekonomi setiap provinsi tidak berkaitan dengan tingkat kematian akibat infeksi virus corona.
"Ada yang bilang angka kematian di Jakarta relatif lebih rendah ketimbang provinsi lain karena Jakarta itu provinsi kaya. Saya kira tak ada hubungannya. Memang, rumah sakit tipe A itu banyak dan lengkap di Jakarta. Faktanya, pasien Covid-19 yang dirawat di Jakarta juga banyak," tulis prof Zubairi dikutip dari cuitan Twitter-nya, Rabu (6/1/2021).
Data Satgas Covid-19 hingga Selasa (5/1) menunjukkan angka kematian pasien Covid-19 di Jakarta lebih rendah dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Meski demikian, ketiga provinsi itu jadi penyumbang kematian terbanyak akibat Covid-19 dengan jumlah kematian di Jatim yaitu 6.119 jiwa, Jateng 3.840 jiwa, dan DKI Jakarta 3.366 jiwa.
Menurut Zubairi, tingkat kematian ditentukan terhadap kesigapan provinsi dan rumah sakit dalam menyikapi Covid-19. Salah satunya yang krusial mengenai obat-obatan.
Ia mempertanyakan apakah tenaga kesehatan setiap daerah mengetahui dengan baik bahwa ada obat yang dulu dianggap bermanfaat untuk pasien Covid-19, tapi saat ini dianggap berbahaya.
Atau pun sebaliknya, pernah dianggap berbahaya tapi sekarang justru bermanfaat. Menurut Zubairi, kondisi itu juga perlu dipastikan.
"Contohnya klorokuin. Dulu, klorokuin itu dipakai ratusan ribu orang untuk obati Covid-19. Namun, pada perkembangannya, obat ini tidak bermanfaat dan malah berbahaya, sehingga ditarik dari peredaran oleh WHO. Dalam hal ini BPOM agak terlambat," katanya
Baca Juga: Covid-19 Berkecamuk, Duel AC Milan vs Juventus Batal Digelar?
"Saya khawatir, rumah sakit di daerah terpencil atau bisa jadi juga di Pulau Jawa, masih belum tahu soal ini. Makanya harus dicek. Jangan-jangan klorokuin masih dipakai. Semoga saja tidak," imbuh Zubairi.
Selain klorokuin, pemakaian lopinavir-ritonavir, obat pendukung penanganan infeksi HIV, juga awalnya diyakini bermanfaat untuk pasien Covid-19. Namun, studi baru menunjukkan, obat tersebut tidak ada gunanya.
Lagi, Zubairi menyarankan perlu dicek kembali di fasilitas layanan kesehatan Covid-19. Selain itu juga ada obat-obat yang sempat dinilai berbahaya untuk pasien Covid-19, tetapi setelah diuji kembali ternyata memberikan khasiat.
"Seperti dexamethasone. Obat ini amat berguna untuk pasien bergejala berat yang sedang dipasang ventilator di ICU. Lalu, ada satu obat namanya heparin. Heparin ini adalah obat pembekuan darah yang sejak lama terbukti menolong pasien, termasuk pasien Covid-19," ucapnya.
"Jadi, semua pasien rawat inap tidak usah diperiksa apakah darahnya mudah beku atau tidak, atau darahnya kental atau tidak. Yang jelas, begitu disuntik heparin, pasien itu lumayan tertolong. Mohon, sekali-sekali dicek, pasien rawat inap di daerah itu mendapat heparin atau tidak," tambah Zubairi.
Tak hanya obat, faktor lain juga mengenai ketersediaan tenaga medis di daerah yang berbeda-beda. Menurut Zubairi, jumlah dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis paru atau dokter konsultan paru di Indonesia masih terbatas.
"Nah, apakah keterbatasan ini menjadi kendala di daerah? Harus dicek. Bagaimanapun, penanggung jawab pasien Covid-19 harus tetap spesialis paru atau spesialis penyakit dalam atau spesialis penyakit dalam yang konsultan paru," tuturnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Kecewa Kena PHP Ivan Gunawan, Ibu Peminjam Duit: Kirain Orang Baik, Ternyata Munafik
- Nasib Maxride di Yogyakarta di Ujung Tanduk: Izin Tak Jelas, Terancam Dilarang
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
- Gibran Dicap Langgar Privasi Saat Geledah Tas Murid Perempuan, Ternyata Ini Faktanya
Pilihan
-
Profil Agus Suparmanto: Ketum PPP versi Aklamasi, Punya Kekayaan Rp 1,65 Triliun
-
Harga Emas Pegadaian Naik Beruntun: Hari Ini 1 Gram Emas Nyaris Rp 2,3 Juta
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
Terkini
-
Golden Period Jadi Kunci, RS Ini Siapkan Layanan Cepat Tangani Stroke
-
Nada Tarina Pamer Bekas Jahitan Operasi, Kenapa Skoliosis Lebih Rentan pada Wanita?
-
Apa Itu Tylenol: Obat yang Diklaim Donald Trump Bisa Bikin Autis
-
Mengenal Osteosarcoma, Kanker Tulang Ganas yang Mengancam Nyawa Anak dan Remaja
-
Viral Guyonan Lelaki Manja saat Sakit, Dokter Saraf Bongkar Fakta Toleransi Nyeri
-
Bukan Cuma Pekerja, Ternyata Orang Tua juga Bisa Burnout karena Masalah Membesarkan Anak
-
Benarkah Diet Keto Berisiko untuk Kesehatan? Ini Jawaban Ahli
-
Tren Mengkhawatirkan! Mengapa Kasus Kanker pada Anak Muda Meningkat?
-
Gaya Hidup Higienis: Kebiasaan Kecil yang Berdampak Besar bagi Tubuh
-
Mengenal Penyakit Lyme yang Diderita Bella Hadid: Bagaimana Perawatannya?