Suara.com - Varian baru virus corona yang terdeteksi di Afrika Selatan menimbulkan risiko infeksi Covid-19 berulang. Hal ini yang kemudian menunjukkan kekhawatiran atas efektivitas vaksin.
Melansir dari Medical Xpress, penelitian pendahuluan yang diumumkan pada Rabu (20/1/2021) tersebut menunjukkan bahwa telah muncul beberapa varian baru virus corona di berbagai negara. Beberapa varian baru tersebut pertama kali terdeteksi Inggris, Afrika Selatan, dan Brasil.
Dalam sebuah studi baru yang belum ditinjau rekan sejawat, para peneliti di Afrika Selatan menguji varian yang ditemukan di negara tersebut.
Varian Afrika Selatan atau 501Y.V2 ini disebut bisa bertahan terhadap plasma darah dari pasien Covid-19 yang pulih. Artinya, varian tersebut mungkin bisa tetap menginfeksi meskipun seseorang pernah mengalami Covid-19.
Para peneliti menemukan bahwa varian 501Y.V2 resisten terhadap antibodi penawar yang dibangun dari infeksi sebelumnya. Meskipun demikian, para ilmuwan menyatakan bahwa masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
"Di sini kami menunjukkan varian 501Y.V2 mengandung sembilan mutasi lonjakan dan muncul dengan cepat di Afrika Selatan selama paruh kedua tahun 2020. Varian ini sebagian besar kebal terhadap antibodi penetral yang dibangun dari infeksi sebelumnya," kata para penulis.
"Ini menunjukkan bahwa meskipun banyak orang yang telah terinfeksi SARS-CoV-2 secara global dan dianggap telah mengakumulasi beberapa tingkat kekebalan, varian baru seperti 501Y.V2 menimbulkan risiko infeksi ulang yang signifikan," imbuhnya.
Para peneliti menambahkan bahwa varian ini mungkin juga memengaruhi penggunaan plasma sebagai pengobatan untuk Covid-19.
Mereka juga menyarankan bahwa varian baru bisa memiliki implikasi untuk vaksin yang dikembangkan berdasarkan tanggapan kekebalan terhadap protein lonjakan virus.
Baca Juga: Satgas: Total 17.150 Pasien Covid-19 Sembuh di Sumut
Jika hasil studi Afrika Selatan dikonfirmasi, maka mungkin perlu penyesuaian vaksin untuk varian ini.
"Penemuan ini bukan kabar baik tapi tidak terduga," kata James Naismith, Direktur Rosalind Franklin Institute kepada Science Media Center.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
Puluhan Siswa SD di Agam Diduga Keracunan MBG, Sekda: Dapurnya Sama!
-
Bernardo Tavares Cabut! Krisis Finansial PSM Makassar Tak Kunjung Selesai
-
Ada Adrian Wibowo! Ini Daftar Pemain Timnas Indonesia U-23 Menuju TC SEA Games 2025
-
6 Fakta Demo Madagaskar: Bawa Bendera One Piece, Terinspirasi dari Indonesia?
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
Terkini
-
Miris! Ahli Kanker Cerita Dokter Layani 70 Pasien BPJS per Hari, Konsultasi Jadi Sebentar
-
Silent Killer Mengintai: 1 dari 3 Orang Indonesia Terancam Kolesterol Tinggi!
-
Jantung Sehat, Hidup Lebih Panjang: Edukasi yang Tak Boleh Ditunda
-
Siloam Hospital Peringati Hari Jantung Sedunia, Soroti Risiko AF dan Stroke di Indonesia
-
Skrining Kanker Payudara Kini Lebih Nyaman: Pemeriksaan 5 Detik untuk Hidup Lebih Lama
-
CEK FAKTA: Ilmuwan China Ciptakan Lem, Bisa Sambung Tulang dalam 3 Menit
-
Risiko Serangan Jantung Tak Pandang Usia, Pentingnya Layanan Terpadu untuk Selamatkan Nyawa
-
Bijak Garam: Cara Sederhana Cegah Hipertensi dan Penyakit Degeneratif
-
HD Theranova: Terobosan Cuci Darah yang Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal
-
Stres Hilang, Jantung Sehat, Komunitas Solid: Ini Kekuatan Fun Run yang Wajib Kamu Coba!