Suara.com - Waktu di layar monitor laptop Ara telah menunjukkan pukul 22.00. Lelaki yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi itu masih belum beranjak dari depan laptopnya. Dari pukul 09.00 Ara masih terus berkutat merespons keluhan dan menjawab deretan pertanyaan dari pengguna layanan teknologi tempatnya bekerja.
“Kalau aplikasi ada problem kita mesti tangani saat saat itu juga, enggak peduli walau itu sudah malam. Enggak peduli juga malam sebelumnya ada masalah,” kata Ara
Kerja di industri teknologi yang dijalani Ara sejak lima tahun lalu memang terkenal tidak punya waktu. Karakter teknologi yang serba cepat menuntut Ara mesti adu maraton dengan deretan keluhan yang datang beruntun tak berkesudahan.
“ Enggak peduli dengan kondisi kita sebagai individualnya,” ujar Ara.
Sejak pemerintah menyatakan status pandemi Covid-19 di Indonesia, tempat Ara bekerja meminta seluruh karyawan untuk bekerja dari rumah. Ara yang tinggal di sebuah kamar kost berukuran 3 x 3 meter terpaksa hanya bisa menghabiskan hari-harinya di depan laptop. Tidak ada lagi istilah jam kerja. Batasan antara istirahat dan waktu bekerja juga jadi kabur. Semua waktu ia habiskan untuk bekerja dan bekerja. Tanpa bersosialisasi.
“Kondisi itu bikin saya sudah lupa sama diri sendiri. Pekerjaan itu membuat saya tidak mengenal diri saya sendiri,” kata Ara.
Pada hari-hari tertentu tidak jarang ia hanya bisa meringkuk di pojok kamar kostnya. Air matanya tumpah. Ia menangis.
“Saya sudah mencoba suicide (bunuh diri) berkali-kali,”
Bahkan, ia sampai menyimpan sebilah pisau lipat di balik bantalnya. Deretan peristiwa itu membawanya untuk terapi ke psikiater. Selama proses terapi berlangsung, psikiater memberi dua jenis obat yang mesti ia habiskan selama dua minggu. Kondis Ara tak banyak berubah. Sehingga psikiater menyarankan untuk mengambil cuti dan pergi liburan.
Baca Juga: Survei: Pandemi COVID-19 Bikin Resiko Kesehatan Tubuh Lebih Kompleks
Ara kemudian memutuskan terbang ke Pulau Dewata dan meninggalkan seluruh pekerjaannya di Tangerang Selatan. Di sana ia menghabiskan waktu pergi ke pantai melihat deburan ombak dan hembusan angin sepoi-sepoi. Kondisinya sempat membaik usai liburan.
Hingga suatu ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah notifikasi muncul dari aplikasi Whatsapp. Darah di tubuhnya seolah menjalar naik ke kepala. Ia cemas dan ketakutan. Ara khawatir pesan yang masuk di ponselnya ialah perintah untuk kerja.
“Saya cuma berharap please stop berbunyi. Walaupun saya tahu itu bukan pekerjaan, tapi yang ada di dalam bayangan saya setiap dengar notifikasi itu adalah pekerjaan,” ungkap Ara.
Situasi itu terus berulang di hari-hari berikutnya. Sudah tidak terhitung berapa kali ia melempar ponselnya hanya karena ada notifikasi masuk.
Kondisi serupa juga sempat dialami oleh Ino yang bekerja sebagai Data Scientist di perusahaan teknologi finansial di daerah Jakarta Selatan. Jantung Ino selalu berdegup lebih cepat tiap bunyi notifikasi muncul dari ponselnya. Napasnya tersenggal dan sesak. Asam lambungnya mendadak naik tiap kali ponselnya berbunyi.
Di lain waktu Ino juga merasa mual setiap kali menatap laptopnya. Ia cemas membayangkan tumpukan pekerjaan yang mesti ia rampungkan. Sejak kepala divisi di kantornya ganti, pekerjaan terus mengalir deras tiada henti. Beban kerja yang menumpuk membuat Ino tidak bisa fokus mesti menyelesaikan pekerjaan yang mana terlebih dahulu.
Berita Terkait
Terpopuler
- Lupakan Louis van Gaal, Akira Nishino Calon Kuat Jadi Pelatih Timnas Indonesia
- Mengintip Rekam Jejak Akira Nishino, Calon Kuat Pelatih Timnas Indonesia
- 7 Mobil Keluarga 7 Seater Seharga Kawasaki Ninja yang Irit dan Nyaman
- Link Download Logo Hari Santri 2025 Beserta Makna dan Tema
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 21 Oktober 2025: Banjir 2.000 Gems, Pemain 110-113, dan Rank Up
Pilihan
-
5 Laga Klasik Real Madrid vs Juventus di Liga Champions: Salto Abadi Ronaldo
-
Prabowo Isyaratkan Maung MV3 Kurang Nyaman untuk Mobil Kepresidenan, Akui Kangen Naik Alphard
-
Suara.com Raih Penghargaan Media Brand Awards 2025 dari SPS
-
Uang Bansos Dipakai untuk Judi Online, Sengaja atau Penyalahgunaan NIK?
-
Dedi Mulyadi Tantang Purbaya Soal Dana APBD Rp4,17 Triliun Parkir di Bank
Terkini
-
Supaya Anak Peduli Lingkungan, Begini Cara Bangun Karakter Bijak Plastik Sejak Dini
-
Kemendagri Dorong Penurunan Angka Kematian Ibu Lewat Penguatan Peran TP PKK di Daerah
-
Gaya Hidup Modern Bikin Diabetes di Usia Muda Meningkat? Ini Kata Dokter
-
Saat Kesehatan Mata Jadi Tantangan Baru, Ini Pentingnya Vision Care Terjangkau dan Berkelanjutan
-
Bikin Anak Jadi Percaya Diri: Pentingnya Ruang Eksplorasi di Era Digital
-
Rahasia Tulang Kuat Sejak Dini, Cegah Osteoporosis di Masa Tua dengan Optimalkan Pertumbuhan!
-
Terobosan Baru! MLPT Gandeng Tsinghua Bentuk Program AI untuk Kesehatan Global
-
Ubah Waktu Ngemil Jadi "Mesin" Pembangun Ikatan Anak dan Orang Tua Yuk!
-
Kasus Kanker Paru Meningkat, Dunia Medis Indonesia Didorong Adopsi Teknologi Baru
-
Osteoartritis Mengintai, Gaya Hidup Modern Bikin Sendi Cepat Renta: Bagaimana Solusinya?