Suara.com - Sarapan belum menjadi kebiasaan rutin bagi setiap keluarga di Indonesia. Studi dari Pakar Gizi dan Pangan Indonesia (Pergizi Pangan) menemukan kalau dekitar 60 persen anak tidak sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
Selain itu, data Riskesdas Kementerian Kesehatan tahun 2013 tercatat bahwa 44,6 persen anak yang menyantap sarapan tapi tidak cukup nutrisi.
"Kebutuhan sarapan itu 25-30 persen dari total harian. Tapi 44 persen anak-anak itu hanya 15 persen saja, enggak cukup. Jadi mereka sarapan tapi tidak cukup, sarapannya hanya minum saja, teh, air putih, atau susu," kata Spesialis Gizi Klinik dr. Diana F. Suganda, M.Kes, Sp.GK., dalam webinar Sarapan Berisi bersama Blue Band, Kamis (17/2/2022).
Menurutnya, kondisi terjadi di seluruh kota di Indonesia. Dokter Diana mengingatkan bahwa data tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi para orangtua, guru, juga tenaga kesehatan untuk mulai mengajak anak-anak harus sarapan.
Sebab, makan pagi sangat bermanfaat bagi tumbuh kembang anak juga modal energi baginya untuk mulai beraktivitas di sekolah, termasuk dalam menyerap materi pelajaran.
Dokter Diana menjelaskan, otak manusia butuh energi untuk bisa konsentrasi dan menyerap informasi. Energi yang paling mudah didapat untuk itak merupakan glukosa yang terdapat pada makanan sumber karbohidrat.
"Jadi makanan pun harus lengkap ada karbonya. Anak juga butuh protein yang lengkap untuk bisa konsentrasi, sehingga bisa meresapi mata pelajaran sekolah," tuturnya.
Bedanya dengan anak yang tidak sarapan, mungkin saja memang tidak terlihat terlalu kelaparan. Tetapi, sebenarnya konsentrasinya tidak terlalu optimal karena otaknya kekurangan energi.
"Kita tahu sepanjang malam saat tidur, tubuh tidak mendapatkan asupan energi apa pun. Sehingga saat pagi, sebaiknya sarapan agar kembali mendapatkan sumber energi terutama untuk otak," tuturnya.
Baca Juga: 2 Gejala Varian Omicron Ini Pengaruhi Kebiasaan Makan, Cek Berat Badan Anda Sekarang!
Selain kurang konsentrasi, lanjut dokter Diana, anak yang tidak sarapan bisa jadi lebih sering bengong dan mengantuk selama di sekolah. Itu sebabnya, manfaat sarapan juga penting bagi prestasi anak di sekolah.
"Sarapan tidak harus dalam porsi makanan yang besar, bisa kasih kecil-kecil tapi tetap mengikuti kaidah gizi seimbang. Kasih protein pakai nasi atau roti boleh. Harus dilengkapi dengan protein, yang gampang misalnya pagi-pagi dengan telur dengan nasi goreng. Lalu bisa kita tambahkan susu," sarannya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 6 Shio Ini Diramal Paling Beruntung dan Makmur Pada 11 Desember 2025, Cek Kamu Salah Satunya?
- Kode Redeem FC Mobile 10 Desember 2025: Siap Klaim Nedved dan Gems Melimpah untuk Player F2P
Pilihan
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
Terkini
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi
-
Pola Hidup Sehat Dimulai dari Sarapan: Mengapa DIANESIA Baik untuk Gula Darah?
-
Dapur Sehat: Jantung Rumah yang Nyaman, Bersih, dan Bebas Kontaminasi
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat
-
Di Balik Prestasi Atlet, Ada Peran Layanan Kesehatan yang Makin Krusial
-
Terobosan Baru Pengobatan Diabetes di Indonesia: Insulin 'Ajaib' yang Minim Risiko Gula Darah Rendah
-
Di Balik Krisis Penyakit Kronis: Mengapa Deteksi Dini Melalui Inovasi Diagnostik Jadi Benteng Utama?