Suara.com - Ketua Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Brigjen TNI (Purn) dr. Jajang Edi Priyanto menanggapi pernyataan Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM), yang menyatakan PDSI bukanlah organisasi profesi melainkan organisasi masyarakat alias ormas.
Hal ini diakui dr. Jajang jika PDSI adalah ormas, yang ia nilai statusnya sama seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun organisasi kedokteran lain adalah ormas, bukan organisasi profesi.
"Indonesia belum ada organisasi profesi nggak ada. (Termasuk IDI?) kita semua sama, organisasi masyarakat semua," ujar dr. Jajang saat dihubungi suara.com, Selasa (17/5/2022).
Menurutnya tidak ada satupun organisasi profesi di Indonesia, termasuk organisasi profesi kedokteran. Kata dia, semua yang disahkan KemenkumHAM, seperti PDSI sama seperti IDI yakni sebuah ormas.
"Nggak ada organisasi profesi, adapun anggotanya dari kelompok himpunan sejenis, itu bukan organisasi profesi, yang ditetapkan KemenkumHAM itu organisasi masyarakat," terang dokter yang juga mantan anak buah Terawan Agus Putranto saat menjadi Menteri Kesehatan RI ini.
Bahkan dr. Jajang juga mengatakan bahwa Indonesia belum memiliki satu pun undang-undang profesi.
Di sisi lain dalam cuitannya, Ketua Satgas IDI, Prof. Zubairi Djoerban menegaskan bahwa IDI adalah organisasi dokter, yang keberadaannya diakui dalam undang-undang praktik kedokteran.
"Itu diperkuat putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyebut IDI satu-satunya organisasi profesi dokter," ujar Prof. Zubairi dalam cuitannya, Senin, 16 Mei 2022.
Sementara itu, pada keterangannya Jumat, 29 April 2022 Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Adib Khumaidi mengatakan bahwa organisasi kedokteran harus tunggal.
Baca Juga: Anggota Ormas dan Perguruan Silat di Tasikmalaya Turun ke Jalan Sweeping Debt Collector
Tujuannya, agar organisasi kedokteran bisa memberikan perlindungan kepada pasien, meningkatkan mutu layanan, dan memberikan kepastian hukum pada masyarakat.
"Bila organisasi kedokteran lebih dari satu akan berpotensi membuat standar, persyaratan, sertifikasi keahlian, dan kode etik berbeda dan membingungkan tenaga profesi kedokteran maupun masyarakat yang merupakan pengguna jasa," jelas dr. Adib.
Berita Terkait
Terpopuler
- Cara Edit Foto Pernikahan Pakai Gemini AI agar Terlihat Natural, Lengkap dengan Prompt
- KPU Tak Bisa Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, DPR Pertanyakan: Orang Lamar Kerja Saja Pakai CV
- Anak Jusuf Hamka Diperiksa Kejagung Terkait Dugaan Korupsi Tol, Ada Apa dengan Proyek Cawang-Pluit?
- Dedi Mulyadi 'Sentil' Tata Kota Karawang: Interchange Kumuh Jadi Sorotan
- Ditunjuk Jadi Ahli, Roy Suryo Siapkan Data Akun Fufufafa Dukung Pemakzulan Gibran
Pilihan
-
Belajar dari Cinta Kuya: 5 Cara Atasi Anxiety Attack Saat Dunia Terasa Runtuh
-
Kritik Menkeu Purbaya: Bank Untung Gede Dengan Kasih Kredit di Tempat yang Aman
-
PSSI Diam-diam Kirim Tim ke Arab Saudi: Cegah Trik Licik Jelang Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
-
Pemain Eropa Telat Gabung, Persiapan Timnas Indonesia Terancam Kacau Jelang Hadapi Arab Saudi
-
STY Sudah Peringati Kluivert, Timnas Indonesia Bisa 'Dihukum' Arab Saudi karena Ini
Terkini
-
Pijat Bukan Sekadar Relaksasi: Cara Alami Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
-
3.289 Kasus Baru Setiap Tahun: Mengenal Multiple Myeloma Lebih Dekat Sebelum Terlambat
-
Konsistensi Lawan Katarak Kongenital, Optik Ini Raih Penghargaan Nasional
-
Apa Itu HB Dosting Hexyl? Doktif Klaim Hexylresorcinol Pengganti Hydroquinone
-
Perempuan Wajib Tahu! 10.000 Langkah Sederhana Selamatkan Tulang dari Pengeroposan
-
Kemenkes Catat 57 Persen Orang Indonesia Sakit Gigi, Tapi Cuek! Ini Dampak Ngerinya Bagi Kesehatan
-
5 Rekomendasi Obat Cacing yang Aman untuk Anak dan Orang Dewasa, Bisa Dibeli di Apotek
-
Sering Diabaikan, Masalah Pembuluh Darah Otak Ternyata Bisa Dideteksi Dini dengan Teknologi DSA
-
Efikasi 100 Persen, Vaksin Kanker Rusia Apakah Aman?
-
Tahapan Skrining BPJS Kesehatan Via Aplikasi dan Online