Suara.com - Penggunaan ganja medis untuk penyakit tertentu telah dilakukan di puluhan negara. Di Belanda, pemanfaatan tanaman ganja untuk non medis bahkan telah dilegalkan.
Walaupun berbagai penelitian telah dilakukan, tetapi belum banyak diketahui tentang efek interaksi ganja medis dengan obat lain.
"Banyak sekali studi tentang ganja. Beberapa bisa menjadi obat, namun masih banyak juga yang belum diketahui tentang tanaman ini dan bagaimana ia berinteraksi dengan obat lain serta tubuh manusia," kata dokter spesialis penyakit dalam Prof. dr. Zubairi Djurban, Sp.PD., dikutip dari tulisannya di Twitter, Rabu (29/6/2022).
Hingga saat ini, juga belum ada bukti kalau kegunaan ganja medis lebih baik daripada obat lain. Prof. Zubairi menyampaikan bahwa setiap dokter perlu mempertimbangkan keamanan ganja dibandingkan dengan obat lain yang akan diresepkan.
"Belum ada bukti obat ganja lebih baik, termasuk untuk nyeri kanker dan epilepsi. Namun ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif, tapi bukan yang terbaik. Sebab, belum ada juga penyakit yang obat primernya adalah ganja," tegasnya.
Terkait efek samping ketergantungan dan halusinasi dari ganja medis, Prof. Zubairi mengatakan bahwa risiko tersebut tergantung dari pengawasan dan dosis pemakaian. Itulah sebabnya, penggunaan ganja medis harus sangat ketat diawasi dokter yang meresepkannya.
Ia menyampaikan bahwa dosis yang dibutuhkan untuk tujuan medis biasanya jauh lebih rendah daripada untuk rekreasi.
"Yang jelas, saat pengobatan, pasien tidak boleh mengemudi. Kemudian THC (tetrahydrocannabinol) dan CBD (kanabidiol) ini tidak boleh dipakai sama sekali pada perempuan hamil dan menyusui," ujarnya.
Di Amerika Serikat, telah ada sejumlah obat yang terbuat dari ganja dan mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS. Prof. Zubairi mengungkapkan, beberapa obat tersebut, di antaranya obat ganja nabati (Epidiolex) yang mengandung cannabidiol murni (CBD), digunakan untuk mengobati kejang serta kelainan genetik langka.
Baca Juga: Selain Bahas KTT G20, Lawatan Jokowi ke Tiongkok Juga Bahas Ini
Selain itu juga FDA mengizinkan penggunaan dua obat sintetis THC yang digunakan untuk mengobati mual pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi dan untuk meningkatkan nafsu makan pada pasien HIV-AIDS.
Berita Terkait
Terpopuler
- Selamat Datang Elkan Baggott Gantikan Mees Hilgers Bela Timnas Indonesia, Peluangnya Sangat Besar
- KPK: Perusahaan Biro Travel Jual 20.000 Kuota Haji Tambahan, Duit Mengalir Sampai...
- Jangan Ketinggalan Tren! Begini Cara Cepat Ubah Foto Jadi Miniatur AI yang Lagi Viral
- Hari Pelanggan Nasional 2025: Nikmati Promo Spesial BRI, Diskon Sampai 25%
- Maki-Maki Prabowo dan Ingin Anies Baswedan Jadi Presiden, Ibu Jilbab Pink Viral Disebut Korban AI
Pilihan
-
Dari Anak Ajaib Jadi Pesakitan: Ironi Perjalanan Karier Nadiem Makarim Sebelum Terjerat Korupsi
-
Nonaktif Hanya Akal-akalan, Tokoh Pergerakan Solo Desak Ahmad Sahroni hingga Eko Patrio Dipecat
-
Paspor Sehari Jadi: Jurus Sat-set untuk yang Kepepet, tapi Siap-siap Dompet Kaget!
-
Kunker Dihapus, Pensiun Jalan Terus: Cek Skema Lengkap Pendapatan Anggota DPR Terbaru!
-
Waktu Rujuk Hampir Habis! Jumat Minggu Depan Pratama Arhan Harus Ikrar Talak ke Azizah Salsha
Terkini
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas
-
Resistensi Antimikroba Ancam Pasien, Penggunaan Antibiotik Harus Lebih Cerdas
-
Ini Alasan Kenapa Donor Darah Tetap Relevan di Era Modern
-
Dari Kegelapan Menuju Cahaya: Bagaimana Operasi Katarak Gratis Mengubah Hidup Pasien
-
Jangan Sepelekan, Mulut Terbuka Saat Tidur pada Anak Bisa Jadi Tanda Masalah Kesehatan Serius!
-
Obat Sakit Gigi Pakai Getah Daun Jarak, Mitos atau Fakta?
-
Pilih Buah Lokal: Cara Asik Tanamkan Kebiasaan Makan Sehat untuk Anak Sejak Dini
-
Sinshe Modern: Rahasia Sehat Alami dengan Sentuhan Teknologi, Dari Stroke Hingga Program Hamil!