Suara.com - Sebuah studi yang terbit bulan ini di jurnal Biological Psychiatry menunjukkan bahwa wanita lebih rentan mengalami depresi daripada pria. Namun, tidak ada alasan yang pasti untuk perbedaan ini.
Para peneliti dari University of California Davis, Princeton University, Mount Sinai Hospital, dan Laval University berupaya memahami bagaimana nucleus accumbens, wilayah tertentu di otak, yang terpengaruh selama depresi.
Depresi berdampak pada nucleus accumbens, bagian otak yang berkaitan dengan motivasi, reaksi terhadap pengalaman menyenangkan, dan koneksi sosial.
Berdasarkan studi sebelumnya, perubahan pada nucleus accumbens diduga berkontribusi pada gejala depresi, atau sebaliknya, depresi sendiri yang mengubah otak.
Dalam studi ini, peneliti memeriksa tikus yang terpapar interaksi sosial tidak menyenangkan, yang lebih mungkin menyebabkan perilaku terkait depresi pada wanita daripada pria.
Hasilnya menunjukkan bahwa interaksi sosial yang buruk dapat mengubah pola ekspresi gen tikus betina dan pola ini mirip dengan yang terlihat pada wanita depresi.
"Penemuan ini memungkinkan saya untuk memusatkan perhatian pada relevansi statistik untuk kesehatan perempuan, karena perempuan kurang dipelajari di sektor ini," kata peneliti dari UC Davis, Alexia Williams, dikutip dari News18.
Dalam studi, peneliti memilih gen RGS2 untuk diubah, setelah menemukan perubahan kimia serupa di otak tikus dan manusia.
Gen ini memengaruhi produksi protein yang mengatur reseptor neurotransmiter, yang ditargetkan obat antidepresan.
Baca Juga: 4 Manfaat Terapi Air untuk Kesehatan Fisik dan Mental
"Versi protein RGS2 yang kurang stabil dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi pada manusia. Jadi kami penasaran untuk melihat apakah peningkatan RGS2 dalam nucleus accumbens dapat mengurangi perilaku yang berhubungan dengan depresi," sambung Williams.
Efek stres pada tikus betina berhasil dibalikkan oleh peneliti ketika protein RGS2 dalam nucleus accumbens tikus ditingkatkan.
"Temuan ini menunjukkan mekanisme biologis yang bertanggung jawab atas defisit motivasi umum pada pasien depresi. Penurunan fungsi RGS2 telah dikaitkan dengan gejala yang sulit diatasi pada orang dengan penyakit mental," lanjut Williams.
Peneliti mengatakan hasil studi sains mendasar seperti ini dapat mengarah pada pengembangan farmakoterapi yang efektif mengobati pasien depresi.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Body Lotion di Indomaret untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Rawat Garis Penuaan
- 7 Rekomendasi Lipstik Transferproof untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp20 Ribuan
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 14 November: Ada Beckham 111, Magic Curve, dan Gems
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 6 Tablet RAM 8 GB Paling Murah untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp2 Jutaan
Pilihan
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
-
Catatan Gila Charly van Oosterhout, Pemain Keturunan Indonesia di Ajax: 28 Laga 19 Gol
-
Daftar 611 Pinjol Ilegal Terbaru Update Satgas PASTI OJK: Ada Pindar Terkenal
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
Terkini
-
Terobosan Baru Lawan Kebutaan Akibat Diabetes: Tele-Oftalmologi dan AI Jadi Kunci Skrining
-
5 Buah Tinggi Alkali yang Aman Dikonsumsi Penderita GERD, Bisa Mengatasi Heartburn
-
Borobudur Marathon Jadi Agenda Lari Akhir 2025
-
Waspada Konsumsi Minuman Soda Diet, Temuan Terbaru Sebut Risiko Penyakit Hati Naik hingga 60%
-
Inovasi Kedokteran Gigi yang Siap Ubah Layanan Kesehatan Mulut Indonesia
-
Waspada "Diabesity", Mengapa Indonesia Jadi Sarang Penyakit Kombinasi Diabetes dan Obesitas?
-
Gaya Hidup Modern Picu Kelelahan, Inovasi Wellness Mulai Dilirik Masyarakat Urban
-
Rahasia Anak Tumbuh Percaya Diri dan Kreatif, Jessica Iskandar Beberkan Kuncinya
-
BRIN Uji Rokok Elektrik: Kadar Zat Berbahaya Lebih Rendah, Tapi Perlu Pengawasan
-
Sering Luput Dari Perhatian Padahal Berbahaya, Ketahui Cara Deteksi dan Pencegahan Aritmia