Bisnis / Makro
Rabu, 31 Desember 2025 | 18:59 WIB
Para pencari kerja mengantri untuk mencari informasi pekerjaan pada acara Jakarta Job Fair di Plaza Semanggi, Jakarta, Selasa (30/5/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  • Frasa "In this economy" jadi simbol frustrasi Gen Z hadapi tingginya biaya hidup 2025.
  • Gen Z pilih Doom Spending akibat sulitnya akses hunian dan ketimpangan upah riil.
  • Fenomena ini dorong pergeseran gaya hidup ke arah ultra-hemat demi bertahan finansial.

Suara.com - Menutup tahun 2025, frasa “In this economy?” bukan lagi sekadar banyolan di media sosial, melainkan sebuah fenomena sosiologi-ekonomi yang menggambarkan rasa frustrasi mendalam Generasi Z Indonesia.

Kalimat ini kerap muncul setiap kali anak muda dihadapkan pada harga kebutuhan dasar yang dianggap tidak masuk akal jika dibandingkan dengan pertumbuhan upah.

Di tengah optimisme makroekonomi yang sering dipaparkan pemerintah, Gen Z justru merasakan tekanan berbeda karena fenomena di mana gaya hidup minimalis bukan lagi pilihan, melainkan paksaan keadaan.

Sepanjang 2025, fenomena “In this economy” meledak seiring dengan beberapa tekanan ekonomi domestik, antara lain:

Lonjakan Biaya Sewa dan Hunian: Tingginya harga properti membuat kepemilikan rumah bagi anak muda di kota besar seperti Jakarta terasa mustahil. Akibatnya, sebagian besar pendapatan Gen Z terserap untuk biaya kos atau kontrak yang naik pasca-inflasi properti.

Inflasi Gaya Hidup Digital: Kenaikan harga paket data, biaya langganan aplikasi, hingga pajak digital membuat biaya "eksistensi" di dunia maya semakin mahal.

Ketimpangan Upah dan Biaya Makan: Meskipun inflasi umum terkendali, harga bahan pangan olahan dan lifestyle dining mengalami lonjakan signifikan. Frasa "Makan siang Rp50 ribu in this economy?" menjadi keluhan umum di kalangan pekerja entry-level.

Kondisi ini memicu pergeseran perilaku ekonomi yang drastis. Banyak anak muda yang mulai meninggalkan impian membeli aset besar dan beralih ke konsumsi mikro yang memberikan kepuasan instan, atau yang sering disebut Doom Spending berbelanja untuk meredakan kecemasan masa depan.

Namun, di sisi lain, muncul gerakan Quiet Saving, di mana Gen Z mulai sangat selektif dan cenderung "menghilang" dari pergaulan sosial demi menjaga kesehatan finansial. Mereka lebih memilih kopi di rumah ketimbang nongkrong di kafe aesthetic yang harganya kini setara dengan upah kerja setengah hari.

Baca Juga: Ramalan Menkeu Purbaya soal IHSG Tembus 9.000 di Akhir Tahun Gagal Total

Pemerintah dan pengamat ekonomi menyoroti bahwa fenomena ini harus direspons dengan kebijakan upah yang lebih kompetitif dan penyediaan hunian terjangkau di pusat kota. Jika tidak, kesenjangan antara realitas ekonomi di atas kertas dan apa yang dirasakan anak muda di lapangan akan semakin lebar.

Gen Z di tahun 2025 tidak lagi takut untuk tidak punya uang, mereka lebih takut terjebak dalam siklus finansial yang membuat mereka tidak pernah bisa "naik kelas" secara ekonomi. Pada akhirnya, "In this economy" adalah sinyal darurat bahwa ekonomi masa kini perlu lebih inklusif bagi generasi penerusnya.

Meski dalam kondisi penuh kesulitan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bahwa masa depan generasi Z akan aman.

"Ada gen Z nggak (di sini)? Masa depan Anda aman. Kita jaga domestik demand supaya ekonomi (bagus)," kata Purbaya dalam Dialog Interaktif Pemerintah Pusat dan Daerah di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/12/2025).

Purbaya memandang pertumbuhan ekonomi tinggi akan mulai terasa di 2026 pada level 6%. Berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan terus diarahkan agar target dapat tercapai.

"Tahun 2026 akan beda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya setelah krisis. Kita expect ekonomi kita akan tumbuh 6%," imbuh Purbaya.

Load More