Suara.com - Kontroversi soal penolakan nyamuk Wolbachia membuat Kementerian Kesehatan angkat bicara. Dengan tegas, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan keberadaan nyamuk Wolbachia mampu menurunkan kematian akibat demam berdarah dengue alias DBD.
Fakta ini disampaikan Menkes Budi, menyadur hasil penelitian Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) pada 2017 hingga 2020 menunjukkan setelah nyamuk ber-wolbachia dilepaskan, kasus dengue menurun hingga 77 persen.
“Sudah jelas sekali hasil studi AWED begitu wolbachia disebar dengue-nya turun. Jadi secara data, secara sains, secara fakta, sudah jelas. Itu sebabnya kemudian Kemenkes yakin kita terapkan ini (wolbachia),” ungkap Menkes Budi dalam keterangannya di Gedung Senayan, Jakarta beberapa waktu lalu.
Program ini juga terlihat hasilnya saat nyamuk wolbachia diterapkan dan disebar ke Yogyakarta. Tak main-main, data per Juli 2023 menunjukan incidence rate demam berdarah di bawah standar WHO, yaitu 1,94 per 100 ribu penduduk. Padahal WHO menetapkan standar untuk incidence rate atau frekuensi kesakitan sebesar 10 per 100 ribu penduduk.
”Begitu (implementasi Wolbachia) terjadi di Yogya dan kenapa kita senang karena pendekatannya ilmiah, sistematis, dan terstruktur. Bakteri wolbachia ini di nyamuk pun ada, jadi bukan sesuatu yang dibikin-bikin,” jelas Menkes Budi.
Meski di Yogyakarta turun, tapi Menkes Budi masih menemukan frekuensi kesakitan demam berdarah di Indonesia tercatat 28,45 per 100 ribu penduduk dan frekuensi kematian 0,73 per 100 ribu penduduk. Sehingga masih jauh di bawah standar WHO. Apalagi DBD didominasi oleh usia 5 hingga 14 tahun alias usia anak.
Menkes Budi menjelaskan, wolbachia adalah bakteri alami yang ada di dalam tubuh beberapa serangga seperti lalat buah, kupu-kupu, ngengat.
Wolbachia tidak dapat bertahan hidup di luar sel serangga karena tidak memiliki mekanisme untuk mereplikasi dirinya sendiri tanpa bantuan serangga sebagai inangnya. Selain tidak dapat bertahan hidup di lingkungan luar sel inang, wolbachia tidak dapat berpindah ke serangga lain atau manusia, dan wolbachia bukan merupakan rekayasa genetika oleh para ilmuwan.
“Dengue di Indonesia atau demam berdarah di Indonesia meningkat terus selama mungkin 50 tahun terakhir. Jadi selama 50 tahun terakhir itu pemerintah sudah melakukan segala macam intervensi dan program mulai dari pemberian larvasida,Pemberantasan Sarang Nyamuk, melakukan 3M, membentuk Juru Pemantau Jentik(Jumantik) dan adanya Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik sampai fogging,” beber pemimpin Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI itu.
Baca Juga: Fakta-Fakta Nyamuk Wolbachia: Bisa Menekan Kasus DBD
Bakteri wolbachia menghambat perkembangan virus dengue di tubuh nyamuk aedes aegypti. Artinya, kemampuan nyamuk dengan wolbachia dalam menularkan virus ke manusia akan berkurang.
Ketika nyamuk aedes aegypti dengan wolbachia berkembang biak di populasi nyamuk, maka kasus dengue akan menurun. Cara berkembang biak nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia antara lain sebagai berikut:
- Jika nyamuk jantan ber-wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-wolbachia, telurnya akan menetas dan menghasilkan nyamuk ber-wolbachia.
- Jika nyamuk jantan tidak ber-wolbachia kawin dengan betina ber-wolbachia, telurnya akan menetas dan menghasilkan nyamuk ber-wolbachia.
- Jika nyamuk jantan ber-wolbachia kawin dengan betina tidak ber-wolbachia, maka telurnya tidak akan menetas.
- Mengenai proses penyebarannya, sebuah ember memuat 250 hingga 300 telur nyamuk, dengan angka penetasan ±90%. Jumlah nyamuk yang akan disebarkan sebesar 10% dari populasi nyamuk di daerah tersebut.
- Penyebarannya dilakukan 12 kali. Artinya, ada pelepasan kurang lebih 2 hingga 3 ekor nyamuk per meter setiap 2 minggu dan dilakukan sebanyak 12 kali.
Menkes Budi mengatakan, penelitian teknologi nyamuk ber-wolbachia ini sudah lama dilakukan. Dalam penelitiannya, peneliti menjalankan semua tahapan dan tidak memangkas (bypass) prosesnya.
Selanjutnya, Kementerian Kesehatan melakukan implementasi awal program wolbachia di 5 kota, yakni Semarang, Bandung, Jakarta Barat, Bontang, Kupang, dan terakhir akan di fasilitasi pelaksanaan di Denpasar.
Pemilihan wilayah itu berdasarkan analisis insiden dengue, kepadatan penduduk, keterwakilan wilayah, dan komitmen kepala daerah.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Sampaikan Laporan Kinerja, Puan Maharani ke Masyarakat: Mohon Maaf atas Kinerja DPR Belum Sempurna
Pilihan
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Geger Shutdown AS, Menko Airlangga: Perundingan Dagang RI Berhenti Dulu!
-
Seruan 'Cancel' Elon Musk Bikin Netflix Kehilangan Rp250 Triliun dalam Sehari!
-
Proyek Ponpes Al Khoziny dari Tahun 2015-2024 Terekam, Tiang Penyangga Terlalu Kecil?
Terkini
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif
-
Fenomena Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Lalu Lanjut Terapi di Indonesia, Apa Sebabnya?
-
Anak Percaya Diri, Sukses di Masa Depan! Ini yang Wajib Orang Tua Lakukan!
-
Produk Susu Lokal Tembus Pasar ASEAN, Perkuat Gizi Anak Asia Tenggara
-
Miris! Ahli Kanker Cerita Dokter Layani 70 Pasien BPJS per Hari, Konsultasi Jadi Sebentar
-
Silent Killer Mengintai: 1 dari 3 Orang Indonesia Terancam Kolesterol Tinggi!