Suara.com - Banyak orang menganggap sepele mendengkur alias ngorok saat tidur. Padahal jika dibiarkan terus menerus, ngorok yang parah bisa menyebabkan kerusakan jantung alias gangguan irama jantung yakni aritmia.
Fakta ini dijelaskan Spesialis Jantung & Pembuluh Darah, Konsultan Aritmia Eka Hospital BSD, dr. Ignatius Yansen Ng, Sp.JP (K), FIHA yang mengatakan jika saat ngorok terdapat fase di mana tubuh kekurangan oksigen.
"Ternyata kalau mengamati orang ngorok itu, biasanya orang ngorok (naik turun suara dan napasnya). Habis itu ada satu episode itu dia berhenti, habis itu naik lagi suara ngoroknya," ujar dr. Ignatius dalam acara diskusi di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Menurut dr. Ignatius, ketika seseorang ngorok lalu tiba-tiba berhenti, di saat itulah menandakan tubuh kekurangan oksigen. Nah, lantaran jantung bekerja memompa darah oksigen ke seluruh tubuh, maka jika kekurangan oksigen, kinerja jantung jadi terganggu.
"Pada waktu berhenti itu, kan sebenernya oksigen kurang. Nah, ketika oksigen kurang, termasuk oksigen yang ke jantung (berkurang). Makanya 'kabel-kabel' listriknya jadi korslet di situ," papar dr. Ignatius.
Perlu diketahui, denyut irama jantung bekerja seperti 'listrik' yang dibutuhkan agar terus berdetak. Namun jika denyut jantung 'korslet', maka irama kerja jantung bisa tiba-tiba berdetak dengan sangat cepat atau melambat.
Kondisi inilah yang kata dr. Ignatius disebut dengan aritmia, yaitu gangguan irama jantung. Sehingga kebiasaan ngorok saat tidur jadi salah satu penyebab aritmia.
"Kadang-kadang, rerata orang ngorok itu begitu (ada tahap berhenti sebentar). Makanya kita ada yang namanya sleep clinic namanya, itu dianalisis tidurnya. Makanya beberapa pasien yang ngoroknya parah, harus pake alat bantu CPAP namanya, supaya oksigennya bagus," jelasnya.
CPAP atau continuous positive airway pressure adalah terapi pemberian aliran udara bertekanan positif ke saluran pernapasan. CPAP juga bertujuan meringankan usaha napas pasien untuk memperbaiki oksigenasi.
Kondisi ngorok yang parah ini juga, kata dr. Ignatius, membuat seseorang kerap kali tidak merasa segar saat bangun tidur.
"Kalau orang ngorok, walaupun tidurnya lama, tapi bangun nggak segar, karena oksigennya kurang," paparnya.
Namun kebiasaan ngorok ini tidak sampai menyebabkan henti jantung mendadak. Kondisi ini umumnya disebabkan aritmia maligna, yang biasanya sebabkan karena penyakit jantung koroner atau kelainan jantung bawaan.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 6 Shio Ini Diramal Paling Beruntung dan Makmur Pada 11 Desember 2025, Cek Kamu Salah Satunya?
- Kode Redeem FC Mobile 10 Desember 2025: Siap Klaim Nedved dan Gems Melimpah untuk Player F2P
Pilihan
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
Terkini
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi
-
Pola Hidup Sehat Dimulai dari Sarapan: Mengapa DIANESIA Baik untuk Gula Darah?
-
Dapur Sehat: Jantung Rumah yang Nyaman, Bersih, dan Bebas Kontaminasi
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat
-
Di Balik Prestasi Atlet, Ada Peran Layanan Kesehatan yang Makin Krusial
-
Terobosan Baru Pengobatan Diabetes di Indonesia: Insulin 'Ajaib' yang Minim Risiko Gula Darah Rendah
-
Di Balik Krisis Penyakit Kronis: Mengapa Deteksi Dini Melalui Inovasi Diagnostik Jadi Benteng Utama?