Suara.com - Mayoritas sampah plastik di seluruh dunia masih berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau tempat pembuangan yang tidak terkontrol.
Di Amerika Serikat, sekitar 85% sampah plastik berakhir di TPA menurut data EPA. Di Indonesia, sekitar 69% sampah plastik ditimbun atau dibuang tanpa pengelolaan optimal.
Negara-negara lain seperti Australia, Kanada, Afrika Selatan, dan Filipina juga sangat bergantung pada TPA karena keterbatasan infrastruktur dan biaya pengelolaan sampah yang tinggi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah pengelolaan sampah plastik bukan hanya isu negara berkembang, melainkan realitas global yang harus dihadapi bersama.
"Plastik konvensional membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai di TPA. Di tempat pembuangan yang tidak dikelola dengan baik, plastik ini terurai menjadi mikroplastik yang mencemari tanah, udara, dan air, sehingga menimbulkan risiko lingkungan jangka panjang," demikian ungkap Yudi Wahyudi, berdasarkan Riset dan Laporan Dampak Mikroplastik, dikutip dari laman plasticsmartcities.wwf.id.
Bahkan di TPA yang dikelola secara sanitasi, plastik tetap bertahan dan berkontribusi pada risiko lingkungan jangka panjang.
Mikroplastik yang dihasilkan dapat menyebarkan polutan berbahaya dan mengancam kesehatan ekosistem serta manusia.
TPA masih menjadi strategi pengelolaan sampah yang dominan karena alasan ekonomi dan logistik.
Biaya pengelolaan sampah melalui TPA jauh lebih rendah dibandingkan dengan daur ulang atau pengomposan.
Baca Juga: 9 Kebiasaan Sehari-hari Ini Bisa Bantu Kurangi Sampah Plastik
Bahkan di negara maju, banyak kota yang belum siap mendukung sistem pengelolaan sampah tanpa TPA atau sistem sirkular secara penuh.
Solusi ideal dalam pengelolaan sampah plastik adalah pengurangan penggunaan, penggunaan ulang, dan penerapan sistem loop tertutup.
Namun, dalam kenyataan, terutama di tempat di mana TPA tidak dapat dihindari, strategi transisi dan pengurangan dampak negatif menjadi sangat penting.
Solusi pengelolaan sampah harus disesuaikan dengan kondisi dan realitas lokal, bukan hanya berdasarkan cita-cita teoritis semata.
Strategi Praktis untuk TPA
Salah satu strategi praktis untuk mengurangi dampak sampah plastik di TPA adalah penggunaan bahan tambahan yang dapat terurai secara hayati atau biodegradable additive.
Teknologi biodegradable additive berbasis mineral, membantu plastik konvensional terurai lebih cepat dalam waktu 2-5 tahun, dibandingkan dengan ratusan tahun pada plastik biasa.
Biodegradable additive ini dirancang untuk bekerja optimal di lingkungan TPA yang kaya oksigen, bukan di fasilitas kompos.
Selain itu, teknologi ini kompatibel dengan proses manufaktur plastik yang sudah ada, sehingga biaya produksinya tetap rendah dan dapat diterapkan secara luas.
Indonesia telah mengembangkan biodegradable additive yang dapat terurai secara hayati berbasis mineral, yang telah diuji sesuai standar internasional ASTM D6954.
Bahan ini telah digunakan dalam pembuatan tas, kemasan, dan produk plastik konsumen sehari-hari.
Tujuannya bukan untuk mendorong peningkatan penggunaan plastik, melainkan untuk membuat plastik yang tidak dapat dihindari menjadi lebih ramah lingkungan dan tidak berbahaya seiring waktu.
Contoh produk lokal yang menggunakan teknologi ini adalah Oxium, yang dikembangkan di Indonesia dan telah melalui berbagai uji ilmiah serta sertifikasi yang ketat.
"Oxium merupakan biodegradable additive berbasis mineral alami yang dirancang untuk mempercepat proses degradasi plastik konvensional menjadi senyawa yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme, tanpa meninggalkan residu berbahaya," ujar Gerakan PASTI melalui situs gerakanpasti.org.
Sebelumnya, banyak kesalahpahaman terkait bahan biodegradable additive yang hanya dianggap mampu memecah plastik menjadi mikroplastik tanpa terurai sempurna.
Namun, biodegradable additive yang dapat terurai secara hayati modern telah diuji untuk memastikan biodegradasi lengkap menjadi karbon dioksida, air, dan biomassa, bukan sekadar penguraian fisik.
Sertifikasi pihak ketiga seperti ASTM D6954 menjadi kunci untuk memverifikasi klaim ini dan memastikan keamanan lingkungan.
Teknologi biodegradable additive yang dapat terurai secara hayati bukanlah pengganti daur ulang, pengomposan, atau pengurangan penggunaan plastik.
Namun, teknologi ini merupakan salah satu lapisan solusi yang penting dalam ekosistem pengelolaan sampah di TPA yang padat.
Penggunaan biodegradable additive ini jauh lebih baik daripada tidak melakukan tindakan apapun, terutama di wilayah yang infrastruktur sirkularnya belum memadai.
TPA akan tetap menjadi bagian dari gambaran pengelolaan sampah global dalam beberapa tahun mendatang.
Oleh karena itu, sambil bertransisi menuju sistem pengelolaan sampah yang lebih baik dan berkelanjutan, kita harus memanfaatkan semua alat yang tersedia untuk mengurangi dampak lingkungan, termasuk penggunaan biodegradable additive yang dapat terurai secara hayati sebagai solusi praktis dalam konteks TPA.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- KPU Tak Bisa Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, DPR Pertanyakan: Orang Lamar Kerja Saja Pakai CV
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Prabowo Kirim Surat ke Eks Menteri Termasuk Sri Mulyani, Ini Isinya...
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Murah Rp 3 Jutaan dengan Kamera Terbaik September 2025
-
Wakil Erick Thohir Disebut jadi Kandidat Kuat Menteri BUMN
-
Kursi Menteri BUMN Kosong, Siapa Pengganti Erick Thohir?
-
Otak Pembunuhan Kacab Bank, Siapa Ken si Wiraswasta Bertato?
-
DPR 'Sentil' Menkeu Purbaya, Sebut Kebijakan Rp200 Triliun Cuma Jadi Beban Bank & Rugikan Rakyat!
Terkini
-
1 Lagi Adik Tingkat Jokowi Masuk Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo
-
Sosok Elizabeth Tjandra Istri Erick Thohir: Mualaf, Apa Pekerjaannya?
-
Apa Arti Eat The Rich? Istilah Viral dari Rakyat yang Kesal Pada Kesenjangan
-
Rincian Kekayaan Erick Thohir yang Capai Rp 2,4 Triliun: 2 Periode Menteri BUMN, Kini Jadi Menpora
-
Berapa Harga Buku Gibran The Next President? Viral Lagi Gegara Dinilai Tak Laku
-
5 Rekomendasi Bedak untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Bisa Samarkan Kerutan
-
Rekam Jejak Karier Muhammad Qodari: Dari Peneliti, Diangkat Jadi Kepala Staf Kepresidenan
-
Pendidikan Kiran Soekarno, Cucu Presiden Pertama RI Ikut Bersihkan Sungai Tukad Bali Pasca Banjir
-
Menjelajahi Kuliner Malam Yogyakarta: Tak Sekadar Gudeg dan Angkringan
-
Prompt Edit Foto AI Jadi Profesi, Ubah Fotomu Jadi CEO Hingga Pengacara!