Lifestyle / Komunitas
Selasa, 09 September 2025 | 20:30 WIB
Ilustrasi pembunuhan mutilasi Pacet. (unsplash)

Suara.com - Kasus mutilasi di Hutan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur viral di media sosial. Alvi Maulana (AM), ditangkap setelah diidentifikasi sebagai pembunuh kekasihnya sendiri, TAS.

Tidak cukup dengan membunuh, AM juga memutilasi jasad korban. Perilaku ini dikenal dengan nama femisida. Istilah ini ramai disebut usai kasus mutilasi Pacet.

Seperti diketahui, misteri penemuan potongan tubuh manusia yang menggegerkan kawasan hutan Pacet, Mojokerto, akhirnya terungkap.

Jajaran Kepolisian Resor (Polres) Mojokerto berhasil membongkar kasus mutilasi sadis dengan total 310 potongan tubuh korban ditemukan.

Kepala Polres Mojokerto, AKBP Ihram Kustarto, dalam konferensi pers pada Senin (8/9/2025), membeberkan alasan utama pelaku memilih Pacet sebagai "kuburan" bagi ratusan potongan tubuh korban.

Siasatnya sederhana namun mengerikan: memanfaatkan kondisi alam untuk menghilangkan jejak secara sempurna.

"Salah satunya alasan pelaku AM memilih kawasan Pacet, Mojokerto, Jawa Timur sebagai lokasi pembuangan potongan tubuh korban karena lokasinya sepi," ujar AKBP Ihram sebagaimana dilansir kantor berita Antara.

Di tengah kasus pembunuhan dan mutilasi yang menggegerkan ini, netizen ramai membahas soal femisida. Mereka menduga aksi pelaku berkaitan dengan femisida.

Lantas, Apa Itu Femisida?

Melansir laman Komnas Perempuan, femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender sebelumnya.

Baca Juga: Siapa Korban Mutilasi Mojokerto dan Kenapa Dibunuh Pacar Sendiri?

Komnas Perempuan mengajak seluruh pihak untuk menamainya sebagai femisida, dan merekomendasikan pemerintah membentuk Femisida Watch untuk mengenali dan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihanterhadap keluarga korban.

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik yang berfokus pada kesetaraan gender merilis berdasarkan data Komisi Statistik PBB 2023, secara global rata-rata setiap hari terdapat 140 orang perempuan dan anak perempuan yang dibunuh oleh pelaku yang merupakan pasangan intim mereka atau anggota keluarga mereka yang lain.

Dalam Global Study on Homicide 2019 (Gender-Related Killing of Women and Girls) oleh UNODC menjelaskan mengenai femisida dipahami sebagai tindakan pembunuhan yang berkaitan dengan gender terhadap perempuan dan anak perempuan.

Namun, tidak semua pembunuhan terhadap perempuan terkait dengan gender. Misalnya, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dengan serangkaian kekerasan dan berujung pada pembunuhan bahkan pelaku tidak memiliki motif yang khusus namun misalnya ada tindakan misoginis atau kebencian, penghinaan, rasa kepemilikan terhadap perempuan atau akar sejarah ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki dan memandang perempuan tidak setara. 

Dalam Pasal 4 UU HAM menyatakan beberapa hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun, termasuk hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa.

Berdasarkan ketentuan ini, pelaku telah melanggar kedua hal ini yang dimiliki korban anak sebagai manusia.

Secara khusus, dalam Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (3) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan larangan untuk melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak hingga menyebabkan kematian.

Pelaku telah melanggar ketentuan ini dengan melakukan tindakan-tindakan kekerasan sehingga korban mengalami cedera berupa lebam di kaki, sundutan rokok di dagu, patah tulang di bahu, benjolan di kepala, bekas siraman air panas di dada dan paha, dan luka di bagian luar vagina. Korban meninggal diakibatkan pendarahan di otak. 

Dalam Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adanya pemberatan pidana (satu pertiga) jika menyebabkan meninggalnya seseorang atas kekerasan seksual yang dialami namun dalam kasus ini, masih terdapatnya dugaan salah satu tindakan pelaku adalah melakukan pelecehan seksual.

Buruknya standard definisi "femisida" oleh negara-negara khususnya Indonesia dan sistem penyidikan dalam membedakan pembunuhan biasa dan femisida berdampak pada buruknya pencegahan, penanganan, pemulihan korban dan dokumentasi data femisida di Indonesia.

Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni

Load More