Lifestyle / Komunitas
Senin, 27 Oktober 2025 | 11:00 WIB
Ilustrasi gen z (Pexels/George Pak)

"Algoritma media sosial sering menciptakan echo chamber, ruang gema informasi yang membuat orang hanya terpapar pada pandangan yang disukainya," ucapnya.

"Di situ disinformasi dan ujaran kebencian mudah tumbuh. Dampaknya bisa ke mana-mana: polarisasi, kehilangan empati, bahkan krisis kepercayaan publik. Maka, Gen Z harus dibekali dengan critical thinking dan empati digital agar tidak mudah terprovokasi," sambungnya.

Langkah konkret dan gerakan komunitas
Deden merangkum tiga langkah konkret untuk mengantisipasi ancaman DFK pada Gen Z: edukasi berkelanjutan, ekosistem kolaboratif, dan pendekatan empatik.

"Saya melihat ada tiga hal. Pertama, edukasi berkelanjutan. Literasi digital bukan cukup satu kali pelatihan, tapi harus jadi budaya di sekolah dan kampus," ucapnya.

Untuk ekosistem kolaboratif, Deden mengusulkan program bersama komunitas digital dan content creator, misalnya gerakan bertajuk Gen Z Tameng Digital, yang mendorong anak muda menjadi pelindung kebenaran digital.

"Kedua, ekosistem kolaboratif. Komunitas dan content creator bisa membentuk gerakan seperti “Gen Z Tameng Digital” untuk mengajak anak muda jadi pembela kebenaran digital," katanya.

Pendekatan empatik menjadi poin ketiga: jangan menakut-nakuti tetapi ajak Gen Z sebagai bagian dari solusi.

"Ketiga, pendekatan empatik. Jangan menakut-nakuti bahaya hoaks, tapi ajak Gen Z jadi bagian dari solusi. Mereka ini kreatif luar biasa. Kalau diarahkan, mereka bisa jadi digital fact-checker alami yang menjaga ruang digital tetap sehat dan beradab," pungkasnya. ***

Baca Juga: 5 Mobil Sedan Tampilan Gaul Cocok untuk Milenial dan Gen Z, Harga Selisih Dikit dari Honda ADV 160

Load More