Suara.com - Budaya instan yang melekat pada Generasi Z berjalan seiring dengan pesatnya penetrasi teknologi. Sebagai pengguna terbesar teknologi, generasi digital-native kini mendominasi ruang digital: lebih dari 56 persen pengguna internet di Indonesia berusia di bawah 30 tahun (BPS, 2024).
Kondisi ini membuat Gen Z menjadi kelompok yang paling sering terekspos informasi, baik yang bermanfaat maupun berbahaya, sehingga upaya perlindungan dan literasi menjadi mendesak.
Budaya instan dan risikonya bagi Gen-Z
Fenomena budaya instan memengaruhi cara Gen Z mengonsumsi informasi. Pakar literasi digital, Deden Mauli Darajat, menjelaskan bagaimana algoritma media sosial mendorong format yang singkat dan menarik, sehingga kebiasaan baru terbentuk: ingin tahu banyak hal, tapi dalam waktu yang sangat singkat.
"Fenomena budaya instan memang melekat pada Gen Z. Mereka tumbuh di dunia yang serba cepat dan visual, di mana informasi datang seketika hanya lewat layar," ujar Deden.
Deden menekankan bahwa budaya instan memiliki dua sisi: adaptasi dan kreativitas di satu pihak, tetapi potensi hilangnya kedalaman berpikir dan refleksi kritis di pihak lain.
"Ketika kita terbiasa hanya menonton reels atau membaca headline, otak dilatih untuk berpikir cepat tapi tidak mendalam. Akibatnya, kemampuan analisis menurun. Gen Z sering bereaksi cepat, tapi belum tentu memahami konteks," terangnya.
"Ini berbahaya di tengah banjir informasi. Kalau tidak punya daya kritis, mereka mudah terjebak pada disinformasi atau clickbait. Karena itu, perlu dibangun budaya baru, tidak hanya mengonsumsi, tapi juga memproduksi konten informatif yang diverifikasi dan bernilai," tambahnya.
Mindful digital behavior dan peran Gen-Z
Deden menyoroti pentingnya mindful digital behavior, kemampuan mengelola waktu, emosi, dan perhatian di dunia digital—sebagai kunci agar Gen Z tidak menjadi target DFK (disinformasi, fitnah, kebencian).
"Gen Z perlu belajar mengelola waktu, emosi, dan perhatian di dunia digital. Tantangan mereka bukan lagi soal akses teknologi, tapi soal digital well-being dan kemampuan memilah informasi," ungkapnya.
Baca Juga: 5 Mobil Sedan Tampilan Gaul Cocok untuk Milenial dan Gen Z, Harga Selisih Dikit dari Honda ADV 160
"Kalau kesadaran ini dibangun, Gen Z justru bisa jadi tameng budaya instan, mereka bisa menunjukkan bahwa cepat bukan berarti dangkal, dan kreatif bukan berarti asal viral," lanjutnya.
Strategi literasi yang kontekstual dan kolaboratif
Menurut Deden, pendekatan meningkatkan literasi untuk digital native harus bersifat kolaboratif dan kontekstual (tidak kaku), melainkan mengikuti gaya komunikasi yang akrab di kalangan muda.
"Pertama, literasi digital perlu diajarkan sejak sekolah, bukan hanya teknis, tapi juga soal etika dan verifikasi. Kedua, gunakan pendekatan sebaya, libatkan influencer dan content creator muda yang jadi panutan Gen Z," ungkapnya.
Sementara itu, lembaga pendidikan dan komunitas digital dapat menggandeng berbagai pemangku kepentingan untuk menyusun kampanye literasi interaktif, misalnya program berbasis sekolah, kampus, dan komunitas kreator.
"Jangan kaku atau formal, tapi gunakan gaya dan platform yang akrab dengan mereka, seperti TikTok, Instagram, atau podcast," imbuhnya.
Ancaman Disinformasi, Fitnah, dan Ujaran Kebencian (DFK)
Sebagai pengguna aktif sekaligus kelompok yang paling terekspos, Gen Z rentan terhadap DFK. Algoritma yang menciptakan echo chamber memperbesar risiko terpapar narasi sempit yang memicu polarisasi.
Berita Terkait
-
Pendidikan Humaniora Digital: Menjaga Keseimbangan Teknologi dan Nilai Kemanusiaan di Era Modern
-
Borong Piala Penghargaan, Ini 5 Judul Sinetron yang Melambungkan Nama Aqeela Callista
-
FOMO: Penyakit Generasi Z yang Bikin Stres dan Kehilangan Diri Sendiri
-
Married to the Idea: Relevankah Pernikahan untuk Generasi Sekarang?
-
Profil Aqeela Calista, Aktris Asmara Gen Z yang Raih 4 Piala SCTV Awards 2025
Terpopuler
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- Gary Neville Akui Salah: Taktik Ruben Amorim di Manchester United Kini Berbuah Manis
- 5 Mobil Bekas 30 Jutaan untuk Harian, Cocok buat Mahasiswa dan Keluarga Baru
- Belanja Mainan Hemat! Diskon 90% di Kidz Station Kraziest Sale, Bayar Pakai BRI Makin Untung
Pilihan
-
5 Fakta Wakil Ketua DPRD OKU Parwanto: Kader Gerindra, Tersangka KPK dan Punya Utang Rp1,5 Miliar
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
-
Dari AMSI Awards 2025: Suara.com Raih Kategori Inovasi Strategi Pertumbuhan Media Sosial
-
3 Rekomendasi HP Xiaomi 1 Jutaan Chipset Gahar dan RAM Besar, Lancar untuk Multitasking Harian
-
Tukin Anak Buah Bahlil Naik 100 Persen, Menkeu Purbaya: Saya Nggak Tahu!
Terkini
-
Sensasi Ngopi Ekstrem di Gelas -86 Derajat: Pahit, Creamy, dan Lembut dalam Satu Tegukan
-
Kalender Jawa 29 Oktober 2025: Weton Rabu Wage, di Antara Sial dan Berkah Menurut Primbon
-
Kelezatan Kuliner Jawa Timur, Ini 5 Hidangan Terbaik yang Tak Boleh Terlewatkan
-
Ashanty Pakai LED Face Mask di Rutinitas Skincare Pagi, Apa Manfaatnya?
-
Fakta-fakta Pakaian Bekas Impor: Dari Mana Asal Negara Baju Thrifting?
-
7 Rekomendasi Day Cream dengan SPF: Melembapkan dan Lindungi Kulit dari Munculnya Flek Hitam
-
4 Shio Paling Beruntung Besok 29 Oktober 2025, Siapa Saja yang Hoki?
-
Urutan Skincare Scarlett untuk Atasi Flek Hitam dari Pagi hingga Malam
-
Cuaca Ekstrem Mengancam Kulit? Ini 4 Rahasia Perawatan Wajah
-
Pabrik Aqua Disidak KDM: Dituduh Penyebab Banjir, Padahal Dulu Dapat Penghargaan Ridwan Kami