Lifestyle / Komunitas
Selasa, 02 Desember 2025 | 08:09 WIB
Dr. Laely Indah Lestari Raih Luncurkan Model Komunikasi “Tanah–Tangan–Tutur” untuk Warisan Budaya (Dok. Istimewa)
Baca 10 detik
  • Model Tanah–Tangan–Tutur memandang budaya sebagai ekologi makna yang hidup melalui nilai tanah, praktik tangan, dan narasi tutur.
  • Studi tenun ikat Sumba Timur menunjukkan bahwa ketiga unsur ini menjaga makna budaya agar tetap bertahan di tengah globalisasi.
  • Laely meraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi Unpad dengan IPK 4,0 dan predikat Summa Cum Laude berkat kontribusinya melalui model ini.

Suara.com - Warisan budaya Indonesia selama ini sering dipahami sebagai artefak pariwisata, sesuatu yang dipertunjukkan, dijual, atau dipamerkan. 

Namun melalui gagasan Model Komunikasi Budaya Tanah–Tangan–Tutur, Laely Indah Lestari menghadirkan perspektif baru yang jauh lebih berakar: bahwa budaya bukan benda mati, tetapi ekologi makna yang hidup melalui hubungan manusia, ruang, dan memori kolektif.

Model ini lahir dari penelitian mendalam Laely mengenai ekosistem pariwisata tenun ikat Sumba Timur, sebuah ruang budaya yang kaya simbol, ritus, serta jejaring komunikasi antaraktor yang kompleks. 

Ia menemukan bahwa keberlangsungan budaya sangat bergantung pada bagaimana nilai, tindakan, dan narasi bekerja bersama menjaga makna agar tidak terkikis oleh pasar dan globalisasi.

Dalam kerangka Tanah–Tangan–Tutur, tanah dipahami sebagai sumber nilai kosmologis. Ia bukan hanya tempat tinggal, tetapi ruang yang memberi identitas, cerita asal-usul, dan simbol-simbol yang melandasi praktik budaya. 

Dalam tenun ikat Sumba Timur, tanah menjadi inspirasi motif sekaligus sumber legitimasi makna yang membuat tenun tidak sekadar indah, tetapi juga sakral bagi masyarakatnya.

Sementara tangan merepresentasikan tindakan budaya yang embodied. Di sinilah pengetahuan ditenun, bukan hanya secara metaforis, tetapi secara literal. 

Tangan para penenun menjadi wadah pengetahuan turun-temurun—gerak, teknik, dan ritme yang diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui tangan, nilai-nilai kosmologis diterjemahkan menjadi karya, menjadikan budaya sebagai aktivitas yang terus hidup, bukan sekadar memori.

Adapun tutur menjadi penghubung yang memastikan makna tidak hilang dalam perjalanan waktu. Tutur hadir dalam cerita tentang motif, dalam ritus adat, dalam percakapan antara penenun dan wisatawan, serta dalam peran media dan pemerintah yang ikut membentuk persepsi publik. 

Baca Juga: Memperkuat Diplomasi Budaya, Indonesian Corner Dibuka di Islamabad

Di sinilah budaya menjadi narasi kolektif—ditafsirkan, dinegosiasikan, dan diperdebatkan, tetapi tetap dipertahankan sebagai identitas.

Melalui penelitian etnografisnya, Laely menunjukkan bahwa ketiga unsur ini tidak bisa dipisahkan. Ketika tanah, tangan, dan tutur mengalir dalam hubungan yang saling menghidupkan, budaya mampu bertahan di tengah tekanan ekonomi dan modernitas. 

Namun ketika salah satu unsur melemah—ketika nilai-nilai tercerabut dari tanahnya, ketika tindakan budaya diperlakukan hanya sebagai komoditas, ketika tutur tidak lagi disuarakan—maka budaya perlahan kehilangan maknanya.

Model Tanah–Tangan–Tutur kemudian tidak hanya menjadi konsep akademis, melainkan tawaran strategis bagi pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan pelaku pariwisata. 

Ia mengajak semua pihak untuk merumuskan strategi pelestarian budaya yang lebih etis dan berbasis nilai, menempatkan masyarakat adat sebagai subjek makna, bukan sekadar pemasok komoditas pariwisata. 

Laely menegaskan bahwa keberlanjutan budaya menuntut kerangka komunikasi yang kuat—kerangka yang lahir dari warisan epistemologi lokal Nusantara sendiri.

Load More