- YBBL dan Akademi Amati menyelenggarakan pelatihan di NTT (28 Okt–4 Nov 2025) untuk memperkuat pangan dan pemberdayaan perempuan.
- 40 peserta dari 10 komunitas Kebun Mama belajar ekologi, gizi, permakultur, serta ekonomi hijau berbasis kebun.
- Program ini bertujuan menggerakkan perempuan sebagai agen perubahan pembangunan sistem pangan mandiri berbasis potensi lokal.
Suara.com - Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) bersama Yayasan Akademi Amati Indonesia menggelar “Pelatihan Kebun Mama Bambu: Ekologi, Gizi, dan Pemberdayaan Komunitas Desa”. Pelatihan tersebut memiliki tujuan untuk memperkuat ketahanan pangan lokal dan pemberdayaan perempuan di tingkat desa.
Program yang sebelumnya dinamakan Kebun Pangan Perempuan ini berlangsung dari 28 Oktober hingga 4 November 2025. Mulanya, pelatihan dibuat daring alias online. Sesi ini digelar selama 3 hari pada 28 hingga 30 Oktober 2025 melalui aplikasi Zoom Meeting. Sesi berikutnya: praktik lapangan. Lokasi sesi tersebut berada di Balai Desa Wogo, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur pada 1 hingga 4 November 2025.
Nah, pelatihan tersebut menjadi bagian dari gerakan 10 komunitas Kebun Mama yang tersebar di berbagai desa di NTT. Para peserta berasal dari Desa Wogo, Desa Wolowea, Desa Watu Nggene, Desa Golo Loni, Desa Belang Turi, Desa Ndenggarongge, Desa Rateroru, Desa Wolokoli, Desa Teka Iku, dan Desa Watu Galang.
Dalam program ini, perempuan sebagai pusat semesta, pemantik inovasi dan penggerak ketahanan pangan keluarga. Lewat pelatihan tematik dan praktik di lapangan, peserta diajak memahami cantolan antara ekologi, gizi, dan ekonomi komunitas dalam membangun sistem pangan sehat dan mandiri.
Perempuan Sebagai Agen Perubahan Desa
Kegiatan diikuti 40 peserta. Mereka berasal dari 10 titik komunitas Kebun Mama dan mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian (Stiper) Flores Bajawa. Selama pelatihan, peserta belajar dari praktisi dan fasilitator nasional. Materinya soal ketahanan pangan berbasis kebun, pengolahan pupuk organik, pengelolaan limbah pertanian dan peternakan, serta pendekatan permakultur (sistem pertanian serupa ekosistem alami sehingga bisa mencukupi kebutuhan pangan–RED) sederhana yang bisa diterapkan di lingkungan rumah tangga.
Viringga Prasetyaji Kusuma, Founder & CEO Amati Indonesia, menyebutkan pelatihan tersebut sebagai sarana untuk mendorong perempuan dan generasi muda untuk memanfaatkan kebun komunitas. Tak hanya sebagai ruang belajar lintas ilmu, melainkan juga lahirnya solusi berkelanjutan serta ekonomi hijau.
“Berkebun bukan sekadar menanam, tapi membangun kesadaran. Mulai dari kebun, kita belajar sains, seni, dan masa depan yang berkelanjutan antar generasi,” ujar Viringga Prasetyaji Kusuma dalam pelatihan tersebut.
Membangun Kemandirian dari Tanah Sendiri
Baca Juga: Mengayuh Harapan di Ujung Timur: Dukungan Sepeda untuk Rumah Belajar Melang
Melalui kegiatan ini, peserta juga diajak menyusun rencana aksi komunitas untuk mengembangkan sistem pangan mandiri berbasis potensi lokal. Ya, Heni Sri Sundani dari Empowering Indonesia School menegaskan pentingnya kebun sebagai pusat kolaborasi sosial-ekonomi di tingkat komunitas.
“Setiap kebun bisa jadi ruang perubahan, kolaborasi, asal ada rencana, komitmen, dan gotong royong yang tumbuh di dalamnya. Perubahan inilah yang dimulai bersama mama-mama di NTT,” ujar Heni Sri Sundani.
Cita rasa pangan lokal dan nilai budaya setempat pun tak pelak menjadi sorotan dari Ester Elisabeth Umbu Tara dari Bacarita Pangan Lokal. Menurut dia, perlu menghidupkan kembali nilai-nilai budaya dan gizi dari pangan lokal melalui kreativitas dan inovasi olahan komunitas perempuan.
“Pangan lokal adalah cerita identitas dan perempuan adalah sumber kelestarian informasinya. Saat kita memetakan dan mengolahnya, kita sedang menjaga warisan rasa dan kehidupan,” kata Ester Elisabeth.
Selain aspek gizi dan ekologi, pelatihan juga memperkenalkan prinsip ekonomi sirkular desa melalui pendekatan permakultur. Dalam hal ini, Stephanus Iqbal dari Ketumbar Workshop mengajarkan cara menanamkan prinsip keterpaduan antara kebun, ternak, dan pengelolaan limbah untuk menciptakan sistem pangan secara alami, mandiri dan berkelanjutan.
“Kebun yang baik bukan yang besar, tapi yang bisa hidup dengan ekosistemnya dan memberi makan setiap tangan yang menanamnya,” ujar Iqbal dalam pelatihan tersebut.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
-
Kuota Pemasangan PLTS Atap 2026 Dibuka, Ini Ketentuan yang Harus Diketahui!
Terkini
-
7 Pilihan Sabun Muka Terbaik untuk Flek Hitam di Apotek, Harga Mulai Rp10 Ribuan Aja
-
55 Kartu Ucapan Natal 2025 dengan Desain Terbaru, Download Gratis Siap Diedit!
-
7 Sepatu Jalan Lokal Kembaran New Balance Ori, Harga Murah Kualitas Tak Perlu Diragukan
-
5 Alternatif Tempat Wisata Bali Viral selain Taman Wisata Luih, Hidden Gem yang Eksotik!
-
8 Manfaat Bangun Pagi untuk Kesehatan Mental, Produktivitas, dan Fokus Harian
-
7 Sepatu Running Lokal Rasa Premium dengan Max Cushion: Bantalan Nyaman, Lari Jadi Ringan
-
Toba Pulp Lestari Punya Siapa? Disorot Buntut Bencana Banjir dan Longsor Sumatera
-
Urutan Basic Skincare Pagi Menurut Dokter Tompi, Cuma Butuh 3 Langkah
-
6 Shio Paling Beruntung pada 19 Desember 2025, Rezeki Mengalir Deras
-
Bagaimana Awal Mula Ijazah Jokowi Dituduh Palsu?