Suara.com - Aksi teror yang terus merebak dan makin banyaknya jumlah pengikut kelompok teroris merupakan dampak dari buruknya pola penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri selama ini. Densus dinilai cenderung bergaya algojo dalam mengeksekusi mati terduga di lapangan. Padahal, tugas Polri adalah melumpuhkan dan membawa terduga ke dalam proses hukum, bukan mengeksekusi di lapangan.
Demikian dikatakan Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane dalam pernyataan pers yang diterima Suara.com, Selasa (19/1/2016).
IPW menilai cara-cara yang dilakukan Densus dalam menangani terduga teroris telah melahirkan dendam kesumat yang luar biasa, terutama terhadap Polri. Di luar dugaan, kata Neta, pola penangkapan ini telah melahirkan sikap simpati untuk ikut "berjihad" melakukan balas dendam, baik dari para keluarga terduga maupun kelompok-kelompok radikal lainnya.
"Tak heran arus keberangkatan para simpatisan kelompok radikal ke Suriah kian banyak dan diam-diam mereka kembali ke Indonesia setelah bergabung dengan ISIS," katanya.
Neta menyontohkan kasus Bahrun Naim. Semula dia bukan teroris. Bahrun Naim hanya teknisi komputer yang suka mengkritisi sikap Densus di media-media online Islam. Di tahun 2010, dia tiba-tiba ditangkap di jalanan. Bahrun Naim dituduh menyimpan senjata dan peluru. Saat itu juga di Facebooknya muncul sikap simpati anak-anak muda pada nasib Bahrun Naim.
"Mereka mencaci maki Densus. Akhirnya Naim divonis 2,5 tahun," katanya.
Neta menambahkan lepas dari penjara Naim ke Suriah. Lalu bergabung dengan ISIS. Begitu juga dengan anak Imam Samudra yang masih remaja ke Suriah. Akibatnya muncul generasi teroris yang turun temurun, yang akan menyulitkan bagi bangsa ini untuk mengatasinya.
Menurut Neta hal itu menunjukkan proses deradikalisasi gagal, sebaliknya yang terjadi dendam kesumat kian marak dan menjadi kayu bakar terorisme. Fenomena ini, kata Neta, perlu dicermati semua pihak.
"Sebenarnya program deradikalisasi harus sejalan bersinergi dengan program penindakan yang profesional. Celakanya, masing-masing pihak di jajaran aparat keamanan cenderung mempertinggi egosektoralnya," katanya.
Akibatnya, kata Neta, pelaksanaan tugas di lapangan saling merugikan satu sama lain. Ke depan, Neta berharap bangsa ini perlu pemimpin Densus yang berwawasan luas dan bisa mengendalikan anak buah di lapangan agar bertindak profesional.
Selain itu, katanya, kendali Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang mengakar ke seluruh unsur yang berhubungan dengan penanggulangan teror perlu ditingkatkan sehingga bangsa ini tidak hanya kebakaran jenggot saat aksi teror bom meledak, kata Neta.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
Gus Yahya Ngaku Sejak Awal Inginkan Islah Sebagai Jalan Keluar Atas Dinamika Organisasi PBNU
-
Rais Aam PBNU Kembali Mangkir, Para Kiai Sepuh Khawatir NU Terancam Pecah
-
Puasa Rajab Berapa Hari yang Dianjurkan? Catat Jadwal Berpuasa Lengkap Ayyamul Bidh dan Senin Kamis
-
Doa Buka Puasa Rajab Lengkap dengan Artinya, Jangan Sampai Terlewat!
-
Pedagang Korban Kebakaran Pasar Induk Kramat Jati Mulai Tempati Kios Sementara
-
Buku "Jokowi's White Paper" Ditelanjangi Polisi: Cuma Asumsi, Bukan Karya Ilmiah
-
Gibran Turun Gunung ke Nias, Minta Jembatan 'Penyelamat' Siswa Segera Dibangun
-
Mensos Salurkan Santunan Rp15 Juta bagi Ahli Waris Korban Bencana di Sibolga
-
Pengamat: Sikap Terbuka Mendagri Tito Tunjukkan Kepedulian di Masa Bencana
-
Anjing Pelacak K-9 Dikerahkan Cari Korban Tertimbun Longsor di Sibolga-Padangsidimpuan