Suara.com - Pusat Data Bersatu (PDB) melakukan Desk Research terhadap kekhawatiran perilaku pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran pertama. Dari riset tersebut, ditemukan adanya indikasi kuat penggunaan solidaritas etnis yang dapat memecah persatuan bangsa. Padahal selama ini, khususnya Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia, dinilai sudah menampilkan hidup rukun dan berdampingan dengan tingkat heterogenitas penduduk yang tinggi.
"Setelah adanya putaran pertama Pilkada DKI, mulai terjadi pergeseran dari heterogenitas ke homogenitas," kata peneliti PDB, Agus Herta Soemarto, dalam Diskusi Evaluasi Pilkada DKI Putaran Pertama bertajuk "SARA, Isu atau Fakta" di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Jumat (17/3/2017).
Dari hal tersebut, menurut Agus, terlihat pilihan sebagian masyarakat pada putaran pertama tidak didasarkan pada prestasi kerja masing-masing calon, melainkan kesamaan suku, agama, ras dan etnis tertentu.
Agus menjelaskan, hasil Pilkada DKI putaran pertama di beberapa wilayah berbasis kelompok tertentu sangat menunjukkan politik solidaritas etnis tersebut. Seperti Jakarta Utara dan Jakarta Barat, di mana hampir 100 persen pemilih di TPS yang pemilihnya berasal dari kelompok etnis dan agama tertentu, memiliki tingkat partisipasi yang hampir menyentuh ke pasangan nomor urut dua, Ahok-Djarot.
"Apabila memang berdasarkan kerja, maka sapu bersih suara seharusnya terjadi di wilayah lain," kata Agus.
Kemudian, lanjut dia, dalam penelitian ini setidaknya ada 505 TPS yang terindikasi kuat ada unsur solidaritas etnis dan agama dalam pertimbangan pilihannya.
"Sebagai contoh TPS 22 di Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, (di mana) paslon satu tidak mendapat suara, paslon tiga hanya mendapat 4 suara, sedangkan paslon nomor urut dua mencapai 99,2 persen," kata Agus.
Agus juga menerangkan, dalam Pilkada putaran pertama, dikotomi pilihan suara berdasarkan faktor etnis dan agama banyak terjadi di kelompok minoritas. Sedangkan pada wilayah-wilayah yang basis massanya mayoritas Islam, menurutnya tidak terjadi homogenitas pilihan.
"Dalam mayoritas, pasangan nomor urut dua (Ahok-Djarot) mendapat suara terbanyak yang cukup besar. Hal ini menandakan bahwa pilihan kelompok mayoritas lebih rasional, yang didasarkan pada prestasi kerja masing-masing paslon," katanya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Sidang Ditunda! Nadiem Makarim Sakit Usai Operasi, Kuasa Hukum Bantah Tegas Dakwaan Cuan Rp809 M
-
Hujan Deras, Luapan Kali Krukut Rendam Jalan di Cilandak Barat
-
Pensiunan Guru di Sumbar Tewas Bersimbah Darah Usai Salat Subuh
-
Mendagri: 106 Ribu Pakaian Baru Akan Disalurkan ke Warga Terdampak Bencana di Sumatra
-
Angin Kencang Tumbangkan Pohon di Ragunan hingga Tutupi Jalan
-
Pohon Tumbang Timpa 4 Rumah Warga di Manggarai
-
Menteri Mukhtarudin Lepas 12 Pekerja Migran Terampil, Transfer Teknologi untuk Indonesia Emas 2045
-
Lagi Fokus Bantu Warga Terdampak Bencana, Ijeck Mendadak Dicopot dari Golkar Sumut, Ada Apa?
-
KPK Segel Rumah Kajari Bekasi Meski Tak Ditetapkan sebagai Tersangka
-
Si Jago Merah Mengamuk di Kemanggisan, Warung Gado-Gado Ludes Terbakar