Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mempertanyakan pernyataan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto yang mengatakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berbeda dengan Front Pembela Islam (FPI), dengan alasan HTI menyatakan menolak NKRI dan Pancasila, serta ingin membangun khilafah
Pernyataan Setyo muncul dalam salah satu berita media online https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170508172546-20-213232/polri-hti-dan-fpi-berbeda/. Dengan alasan itu pula, Setyo Wasisto menyatakan Polri hanya mengusulkan HTI kepada pemerintah untuk dibubarkan.
"AJI Indonesia menilai pernyataan Setyo Wasisto menunjukkan cara berfikir yang parsial dan abai terhadap prinsip serta kaidah pembatasan kebebasan berekspresi," kata Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono di Jakarta, Selasa (9/5/2017).
AJI mengecam Pemerintah yang terus menerus mengabaikan ketentuan Pasal 20 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol).UU tersebut telah menegaskan setiap bentuk propaganda perang, tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.
Selain itu, AJI Indonesia mempertanyakan komitmen pemerintah untuk menegakkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 (UU No 40/2008) tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis sebagai pelaksanaan dari perintah Konvenan Sipol, termasuk dalam wacana pembubaran HTI. "Alih-alih menjalankan mekanisme hukum sebagaimana diatur UU No 40/2008, Pemerintah justru memilih menjalankan mekanisme hukum untuk membatasi hak berekspresi dan menyampaikan gagasan," ujar Suwarjono.
Senada dengan itu, Sekjen AJI Indonesia Arfi Bambani Amri mengatakan Pemerintah bukan hanya menjalankan praktik diskriminasi terhadap warga negara, namun juga “diskriminasi” karena memilih-milih aturan hukum apa yang ditegakkan, dan aturan hukum apa yang dilumpuhkan. Praktik itu menjadi semakin nyata dalam kasus pameran lukisan "Aku Masih Utuh dan kata-kata belum binasa, Tribute to #WijiThukul" oleh seniman Andreas Iswinarto di Pusham Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, pada Senin (8/5/2017).
Polri sebagai aparat penegak hukum tidak melindungi hak asasi Andreas Iswinarto untuk berekspresi secara damai, dan tidak mengambil langkah hukum apapun terhadap sekelompok orang beratribut organisasi kemasyarakatan Pemuda Pancasila. Kasus pembubaran pameran lukisan itu mengingatkan kita bahwa Polri selalu abai dan membiarkan berbagai organisasi kemasyarakatan merampas hak warga negara lain yang berekspresi dengan cara-cara damai.
"Menyikapi langkah pemerintah ini, AJI menyatakan sikap bahwa membubarkan organisasi, termasuk seperti HTI, adalah pelanggaran terhadap hak menyatakan pendapat dan berserikat yang itu dilindungi Konstitusi. Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3) tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Perlindungan terhadap pelaksanaan hak ini juga diatur lebih detail dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol)," jelas Arfi.
Baca Juga: BIN Dukung Rencana Pemerintah Bubarkan HTI
AJI menegaskan bahwa pembubaran sebuah organisasi adalah tindakan yang tidak sejalan dengan prinsip negara demokrasi. Membiarkan pemerintah melakukan tindakan seperti itu sama dengan memberi cek kosong yang itu bisa dipakai secara sewenang-wenang di kemudian hari dengan alasan yang bisa dicari-cari. Pemerintah harus melakukan cara lain untuk menangkal bahaya yang ditimbulkan oleh sebuah organisasi sebelum memilih cara drastis dan keras seperti pembubaran. "Artinya, pembubaran ormas harus benar-benar merupakan opsi terakhir dan harus sesuai undang-undang," jelas Arfi.
Ketentuan soal organisasi kemasyarakatan diatur dalam Undang Undang No 17 tahun 2013. Regulasi ini memuat larangan bagi sebuah organisasi, antara lain: menyebarkan permusuhan bersifat SARA; melakukan kegiatan separatis; mengumpulkan dana untuk parpol; dan menyebarkan faham yang bertentangan dengan Pancasila. Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa tindakan HTI terbukti melanggar undang-undang tersebut. Kalau pun memang ada pelanggaran, pemerintah harus mengikuti prosedurnya, yaitu terlebih dulu memberi peringatan. Jika peringatan sampai tiga kali diacuhkan, pemerintah terlebih dulu harus menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatannya selama enam bulan.
"Jika larangan ini diabaikan, barulah pemerintah bisa membawanya ke pengadilan," tutup Arfi.
Berita Terkait
Terpopuler
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
 - 7 Mobil Bekas Favorit 2025: Tangguh, Irit dan Paling Dicari Keluarga Indonesia
 - 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
 - 25 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 1 November: Ada Rank Up dan Pemain 111-113
 - 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
 
Pilihan
- 
            
              Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
 - 
            
              Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
 - 
            
              Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
 - 
            
              5 HP RAM 12 GB Paling Murah, Spek Gahar untuk Gamer dan Multitasking mulai Rp 2 Jutaan
 - 
            
              Meski Dunia Ketar-Ketir, Menkeu Purbaya Klaim Stabilitas Keuangan RI Kuat Dukung Pertumbuhan Ekonomi
 
Terkini
- 
            
              Prabowo Pasang Badan Soal Utang Whoosh: Jangan Dipolitisasi, Nggak Usah Ribut-ribut!
 - 
            
              Puan Maharani: Negara Harus Permudah Urusan Rakyat, Bukan Persulit!
 - 
            
              Gebrakan Ambisius Prabowo: Whoosh Tembus Banyuwangi, Pasang Badan Soal Utang
 - 
            
              Prabowo Akhirnya Bicara Soal Polemik Whoosh: Saya Tanggung Jawab Semuanya!
 - 
            
              Makin Beringas! Debt Collector Rampas Mobil Sopir Taksol usai Antar Jemaah Umrah ke Bandara Soetta
 - 
            
              Dari Logo Jokowi ke Gerindra: 5 Fakta Manuver Politik 'Tingkat Dewa' Ketum Projo Budi Arie
 - 
            
              Said Abdullah PDIP Anggap Projo Merapat ke Prabowo Strategi Politik Biasa, Ada 'Boncengan' Gibran?
 - 
            
              7 Fakta Gubernur Riau Abdul Wahid Kena OTT KPK, Harta Cuma Rp4,8 Miliar
 - 
            
              Menerka Siasat Budi Arie: Projo 'Buang' Muka Jokowi, Merapat ke Prabowo Demi Nikmat Kekuasaan?
 - 
            
              Ancaman Banjir di Depan Mata, Begini Kesiapan Pemprov DKI Hadapi Cuaca Ekstrem hingga Februari 2026