Ilustrasi KPK [suara.com/Nikolaus Tolen]
Baca 10 detik
Jika nanti dipanggil panitia khusus hak angket terhadap KPK, pimpinan KPK diminta jangan memenuhi panggilan. Sebab, menurut peneliti Indonesia Corruption Watch Donal Fariz, pansusnya tersebut hanyalah panggung politik.
"Dia sudah sebutkan bahwa isunya bisa melebar kemana-mana termasuk Miryam, ya nggak bisa. Karena kasus Miryam kan kasus yang sedang disidik oleh KPK. KPK tidak boleh membocorkan hasil penyelidikan dan DPR tidak boleh mengintervensi proses penyidikan," katanya di Restoran Tjikini Lima, Menteng, Jakarta Pusat.
Dia yang dimaksud Donal adalah wakil ketua pansus Risa Mariska yang menyebutkan pansus bisa saja membahas banyak hal, termasuk rekaman pemeriksaan tersangka kasus memberikan keterangan palsu Miryam S. Haryani. Miryam merupakan anggota Fraksi Hanura yang pernah menjadi saksi kasus korupsi e-KTP yang menyebut ditekan anggota DPR, kemudian mengoreksi keterangan, lalu dia mencabut kesaksian di pengadilan dengan alasan ditekan penyidik KPK.
Penggunaan hak angket KPK dilatari oleh kasus korupsi e-KTP. Komisi III DPR meminta KPK membuka rekaman hasil pemeriksaan Miryam, tetapi ketika itu KPK tidak bersedia. Setelah itu muncul wacana penggunaan hak angket.
Donal mengatakan rekaman pemeriksaan Miryam tidak boleh disampaikan ke pansus. Rekaman tersebut hanya bisa dibuka di persidangan.
"Angket itu kan panggung politik, bukan panggung penegakan hukum. Karena kesimpulan secara statis, 1+1=2, kalau logika politik 1+1 itu belum tentu dua," kata Donal.
Donal menyebutkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi. Pasal 17 menyebutkan informasi dalam penyelidikan dan penyidikan adalah informasi yang dikecualikan.
"Justru ada sanksi pidana bagi orang yang membuka informasi dalam penyelidikan dan penyidikan itu. Dan informasi tentang Miryam, informasi siapa yang mengintervensi Miryam sehingga mengubah BAP (Berita Acara Pemeriksaan), itu informasi di dalam penyidikan, ya nggak boleh dibuka," katanya.
KPK mempunyai dasar menolak panggilan pansus. Dasar tersebut sudah diatur dalam UU MD3, UU KPK yang mengatakan KPK bekerja secara independen, dan UU keterbukaan informasi.
Menurut Donal tidak ada dasar hukum bagi pansus untuk memanggil KPK.
"Nggak bisa (panggil paksa), dia tidak punya kekuatan hukum, karena sejak awal dia sudah cacat hukum. Maka tindakan-tindakan yang terkait dengan pansus itu tidak bisa dibenarkan secara hukum," kata Donal.
Donal juga menyoroti ketua pansus, anggota Fraksi Golkar Agun Gunanjar. Agun merupakan salah satu saksi kasus dugaan korupsi e-KTP.
"Agun Gunanjar pimpinan pansus angket misalnya disebut terima uang satu juta dollar Amerika dalam kasus e-KTP. Ini pihak yang punya kepentingan, dan KPK dilarang bertemu dengan pihak yang berkepentingan terkait perkara," katanya.
Lebih jauh, Donal curiga tujuan pansus bukan untuk memperkuat KPK, melainkan melumpuhkan.
"Menurut kami, angket ini sebenarnya punya tujuan lain, satu, untuk mengganggu kerja KPK , dua, untuk memperoleh data dan informasi dari KPK yang sebenarnya akan membantu penyelidikan dan penyidikan, dan ketiga, memperlambat kerja KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi," katanya.
"Dia sudah sebutkan bahwa isunya bisa melebar kemana-mana termasuk Miryam, ya nggak bisa. Karena kasus Miryam kan kasus yang sedang disidik oleh KPK. KPK tidak boleh membocorkan hasil penyelidikan dan DPR tidak boleh mengintervensi proses penyidikan," katanya di Restoran Tjikini Lima, Menteng, Jakarta Pusat.
Dia yang dimaksud Donal adalah wakil ketua pansus Risa Mariska yang menyebutkan pansus bisa saja membahas banyak hal, termasuk rekaman pemeriksaan tersangka kasus memberikan keterangan palsu Miryam S. Haryani. Miryam merupakan anggota Fraksi Hanura yang pernah menjadi saksi kasus korupsi e-KTP yang menyebut ditekan anggota DPR, kemudian mengoreksi keterangan, lalu dia mencabut kesaksian di pengadilan dengan alasan ditekan penyidik KPK.
Penggunaan hak angket KPK dilatari oleh kasus korupsi e-KTP. Komisi III DPR meminta KPK membuka rekaman hasil pemeriksaan Miryam, tetapi ketika itu KPK tidak bersedia. Setelah itu muncul wacana penggunaan hak angket.
Donal mengatakan rekaman pemeriksaan Miryam tidak boleh disampaikan ke pansus. Rekaman tersebut hanya bisa dibuka di persidangan.
"Angket itu kan panggung politik, bukan panggung penegakan hukum. Karena kesimpulan secara statis, 1+1=2, kalau logika politik 1+1 itu belum tentu dua," kata Donal.
Donal menyebutkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi. Pasal 17 menyebutkan informasi dalam penyelidikan dan penyidikan adalah informasi yang dikecualikan.
"Justru ada sanksi pidana bagi orang yang membuka informasi dalam penyelidikan dan penyidikan itu. Dan informasi tentang Miryam, informasi siapa yang mengintervensi Miryam sehingga mengubah BAP (Berita Acara Pemeriksaan), itu informasi di dalam penyidikan, ya nggak boleh dibuka," katanya.
KPK mempunyai dasar menolak panggilan pansus. Dasar tersebut sudah diatur dalam UU MD3, UU KPK yang mengatakan KPK bekerja secara independen, dan UU keterbukaan informasi.
Menurut Donal tidak ada dasar hukum bagi pansus untuk memanggil KPK.
"Nggak bisa (panggil paksa), dia tidak punya kekuatan hukum, karena sejak awal dia sudah cacat hukum. Maka tindakan-tindakan yang terkait dengan pansus itu tidak bisa dibenarkan secara hukum," kata Donal.
Donal juga menyoroti ketua pansus, anggota Fraksi Golkar Agun Gunanjar. Agun merupakan salah satu saksi kasus dugaan korupsi e-KTP.
"Agun Gunanjar pimpinan pansus angket misalnya disebut terima uang satu juta dollar Amerika dalam kasus e-KTP. Ini pihak yang punya kepentingan, dan KPK dilarang bertemu dengan pihak yang berkepentingan terkait perkara," katanya.
Lebih jauh, Donal curiga tujuan pansus bukan untuk memperkuat KPK, melainkan melumpuhkan.
"Menurut kami, angket ini sebenarnya punya tujuan lain, satu, untuk mengganggu kerja KPK , dua, untuk memperoleh data dan informasi dari KPK yang sebenarnya akan membantu penyelidikan dan penyidikan, dan ketiga, memperlambat kerja KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi," katanya.
Komentar
Berita Terkait
-
Tetap Berstatus Kader, Golkar Senang Setnov Bebas: Secara Prosedur Semuanya Memenuhi Syarat
-
Blak-blakan! Ketua KPK Sebut Pembebasan Bersyarat Setya Novanto Kurang Adil, Kenapa?
-
Setya Novanto Hirup Udara Bebas: Preseden Buruk Bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
-
Setya Novanto Bebas Bersyarat, KPK Ingatkan Dosa Korupsi E-KTP: Itu Kejahatan Serius!
-
KPK Tegaskan Penangguhan Penahanan Paulus Tannos Belum Dikabulkan Pengadilan Singapura
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO
-
Wacana 'Go Public' PAM Jaya Bikin DPRD DKI Terbelah, Basri Baco: Ini Dinamika, Normal
-
Bukan Cuma Wacana, Ini Target Rinci Pemindahan ASN ke IKN yang Diteken Presiden Prabowo
-
Polandia Jadi Negara Eropa Kedua yang Kerja Sama dengan Indonesia Berantas Kejahatan Lintas Negara
-
Gerakan 'Setop Tot tot Wuk wuk' Sampai ke Istana, Mensesneg: Semau-maunya Itu