Suara.com - Mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan memegang peran penting dalam pencapaian target pengurangan emisi nasional.
Indonesia telah berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan internasional dibandingkan dengan skenario Business As Usual (BAU) pada tahun 2030.
Target tersebut menempatkan aksi mitigasi bidang kehutanan (termasuk melalui REDD+), sebagai prioritas pertama yakni pengurangan 17,2 persen.
Sumatera Barat (Sumbar) merupakan salah satu provinsi yang mempunyai komitmen tinggi dalam pelaksanaan REDD+ (Reducing emissions from deforestation and forest degradation). Sejak tahun 2011, Sumbar termasuk satu dari 11 provinsi di Indonesia yang menjadi percontohan dalam pengendalian perubahan iklim, yang dikenal dengan Indonesia 11.
Fokus aksi mitigasi dilakukan melalui perhutanan sosial, dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, Yozarwardi Usama Putra mengatakan Sumatera Barat berkomitmen untuk mengimplementasikan pendekatan pembangunan rendah emisi. Kebijakan strategis REDD+ dijalankan dengan mengedepankan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau Community Based Forest Management (CBFM) sebagai basis implementasi REDD+ di Sumatera Barat.
“Sampai dengan laporan terakhir 2017, Provinsi Sumatera Barat sudah berkontribusi menyerap emisi karbon sebesar 7,5 juta ton CO2 eq sejak tahun 2011-2016 dari sektor berbasis lahan bidang kehutanan melalui aksi mitigasi perubahan iklim, khususnya dalam kegiatan penanaman pohon atau yang berdampak langsung”, ungkap Yozarwardi saat membuka Sosialisasi Sinkronisasi dan Penguatan Kapasitas Aksi Mitigasi Bidang Kehutanan Melalui Tata Cara Pelaksanaan REDD+ Implementasi Nationally Determined Contributions (NDC) di Indonesia, di Padang (21/11/2018).
Untuk mendukung pengendalian perubahan iklim, Sumbar sudah mengeluarkan Perda Pengamanan Hutan Berbabis Nagari (Desa), melahirkan Pokja Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK), membentuk Pokja REDD dan Pokja Perhutanan Sosial, pembentukan 11 UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), membangun peta, dan memperbanyak kegiatan RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan) serta reboisasi.
Sampai saat ini Sumbar sudah memperoleh izin perhutanan sosial dari KLHK seluas 202.000 ha, ditambah 76.000 ha yang sedang proses izin, sehingga totalnya sekitar 278.000 ha dari 500.000 ha yang ditargetkan. Paling tidak Sumbar sudah men-support 5 persen dari target nasional 12,7 juta ha.
“Kalau dilihat kedepan, lokasi perhutanan sosial inilah hutannya yang bisa dijaga secara lestari baik dengan skema hutan nagari (hutan desa) ataupun hutan kemasyarakatan, harapannya kedepan akan lahir usaha-usaha baru dari areal perhutanan sosial sehingga tidak ada lagi alih fungsi lahan, bahkan menjadi lokasi usaha-usaha produktif yang memiliki stok karbon yang tinggi”, kata Yozarwardi.
Baca Juga: KLHK: Isu Lingkungan Hidup Harus Tetap Jadi Prioritas Daerah
Indonesia merupakan salah satu negara REDD+ yang telah aktif berperan serta dalam negosiasi dan aksi terkait hutan dan REDD+. Sebagai salah satu upaya pengendalian perubahan iklim, Pemerintah Indonesia telah menargetkan perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha, yang diberikan melalui skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Ratyat, Kemitraan dan Hutan Adat. Diharapkan melalui PS, masyarakat akan mendapat manfaat dari pengelolaan hutan sehingga akan bersama-sama menjaga hutan.
Kegiatan Sosialisasi Sinkronisasi dan Penguatan Kapasitas Aksi Mitigasi ini merupakan program Kerjasama RI-Norway dan Program Forest Carbon Partnership Facilities (FCPF – World Bank). Acara yang berlangsung dari 21 – 22 November 2018 di Padang, Sumatera Barat ini dihadiri 100 orang peserta dari dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Lingkungan Hidup, UPT lingkup Sumbar, KPH Lingkup Sumbar, Perguruan Tinggi dan Mitra.
“Acara sosialisasi ini diharapkan dapat mendorong percepatan NDC untuk Sumatea Barat”, tegas Joko Suwarno dari Biro Perencanaan KLHK selaku penyelenggara.
Berita Terkait
-
Target Ambisius KKP: Bangun 1000 Kampung Nelayan Merah Putih Hingga 2026, Apa Dampaknya?
-
7 Fakta Tragedi Bulan Madu Maut di Solok, Benda Ini Diduga Jadi Penyebabnya
-
Sebabkan Kematian Pasangan Baru di Solok, Bagaimana Water Heater Mengeluarkan Gas Beracun?
-
Ratusan Siswa di Agam Keracunan MBG, Pemkab Tetapkan KLB
-
Peringatan 16 tahun Gempa Padang
Terpopuler
- 4 Mobil Bekas 50 Jutaan Muat 7-9 Orang, Nyaman Angkut Rombongan
- Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
- Daftar Mobil Bekas yang Harganya Paling Stabil di Pasaran
- 7 Parfum Wangi Bayi untuk Orang Dewasa: Segar Tahan Lama, Mulai Rp35 Ribuan Saja
- 3 Pelatih Kelas Dunia yang Tolak Pinangan Timnas Indonesia
Pilihan
-
Zahaby Gholy Starter! Ini Susunan Pemain Timnas Indonesia U-17 vs Honduras
-
Tinggal Klik! Ini Link Live Streaming Timnas Indonesia U-17 vs Honduras
-
Siapa Justen Kranthove? Eks Leicester City Keturunan Indonesia Rekan Marselino Ferdinan
-
Menko Airlangga Ungkap Dampak Rencana Purbaya Mau Ubah Rp1.000 Jadi Rp1
-
Modal Tambahan Garuda dari Danantara Dipangkas, Rencana Ekspansi Armada Kandas
Terkini
-
DPR Dukung BGN Tutup Dapur SPPG Penyebab Keracunan MBG: Keselamatan Anak-anak Prioritas Utama
-
BMKG Peringatkan Potensi Cuaca Ekstrem Selama Seminggu, Jakarta Hujan Lebat dan Angin Kencang
-
Setelah Gelar Pahlawan, Kisah Soeharto, Gus Dur, hingga Marsinah akan Dibukukan Pemerintah
-
Dari Kelapa Gading ke Senayan: Ledakan SMA 72 Jakarta Picu Perdebatan Pemblokiran Game Kekerasan
-
Terungkap! Terduga Pelaku Bom SMA 72 Jakarta Bertindak Sendiri, Polisi Dalami Latar Belakang
-
Skandal Terlupakan? Sepatu Kets asal Banten Terpapar Radioaktif Jauh Sebelum Kasus Udang Mencuat
-
GeoDipa Dorong Budaya Transformasi Berkelanjutan: Perubahan Harus Dimulai dari Mindset
-
Usai Soeharto dan Gus Dur, Giliran BJ Habibie Diusulkan Dapat Gelar Pahlawan Nasional
-
PN Jaksel Tolak Praperadilan PT Sanitarindo, KPK Lanjutkan Proses Sidang Korupsi JTTS
-
Dimotori Armand Maulana dan Ariel Noah, VISI Audiensi dengan Fraksi PDIP Soal Royalti Musik