Suara.com - Kasus penyiksaan dalam proses penyidikan kembali terjadi, kali ini ditemukan di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Korban penyiksaan yang merupakan saksi mata kasus pembunuhan, dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku.
Terkait makin banyaknya terjadi kasus penyiksaan dalam penyidikan, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Pemerintah untuk segera membahas RKUHAP dengan menjamin penahanan di kepolisian tidak lagi dilakukan. Selain itu, juga memperketat pengawasan hingga mengatur ulang jenis-jenis alat bukti supaya tidak lagi bertumpu pada pengakuan.
"ICJR mendesak Pemerintah agar segera mulai mengambil langkah untuk melakukan perbaikan substansial terhadap sistem peradilan pidana melalui revisi KUHAP agar tidak ada lagi ruang untuk praktik-praktik penyiksaan," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus AT Napitupulu dalam siaran pers, Kamis (9/7/2020).
Sarpan merupakan saksi mata dalam kasus pembunuhan yang terjadi pada 2 Juli 2020 di Jalan Sidumolyo Gg Gelatik Pasar 9 Desa Sei Rotan, Kecamatan Percut Seituan, Deli Serdang. Buruh bangunan tersebut ditahan selama lima hari dan diduga mendapat penyiksaan dari oknum penyidik di Polsek Percut Seituan.
Selama ditahan, istri Sarpan berusaha menjenguk ke kantor polisi namun dihalang-halangi petugas. Sarpan akhirnya baru dilepas pada 6 Juli 2020 setelah warga melakukan unjuk rasa di depan Polsek Percut Seituan dengan tuntutan pembebasan ketua RT tersebut.
Sarpan kemudian pulang dalam kondisi lebam pada wajah, dada, dan punggung yang diduga karena pemukulan. Sarpan juga mengaku matanya dilakban ketika diperiksa dan disetrum saat berada di sel tahanan untuk dipaksa mengaku menjadi pelaku pembunuhan, meski dia telah menyebutkan nama pelaku sebenarnya, yang tidak lain merupakan anak dari pemilik rumah tempatnya bekerja sebagai kuli bangunan.
Terhadap insiden ini, dua orang petinggi Polsek Percut Sei Tuan tersebut yakni Kanit dan Panit Reskrim diperiksa Propam Polrestabes Medan. Kasubdit Penmas Polda Sumut AKBP MP Nainggolan pada 8 Juli 2020 mengatakan, kasus tersebut kini dalam penyelidikan propam dan bila nanti terbukti tentu akan diberikan sanksi disiplin atau sanksi etik.
"Kami memandang kasus ini tidak selayaknya hanya berhenti pada pemberian sanksi disiplin maupun sanksi etik. Sebab, tindakan oknum penyidik tersebut jelas merupakan tindak pidana sehingga menjadi wajar jika dijatuhi sanksi pidana," ujar Erasmus.
Pemberian sanksi yang tegas dalam kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat sipil negara perlu dilakukan untuk menunjukkan adanya akuntabilitas khususnya dalam hal ini pada institusi kepolisian. ICJR menilai bahwa kasus-kasus penyiksaan khususnya yang selama ini terjadi dalam sistem peradilan pidana memang tidak pernah direspon dengan memadai.
Baca Juga: Disiksa Polisi, Kuli Bangunan Sarpan Diminta Lapor Komnas HAM
Tidak heran jika sejak Kasus Sengkon-Karta mencuat pada 1974 hingga saat ini yang hampir 50 tahun lamanya, praktik-praktik penyiksaan masih langgeng digunakan dalam mengejar pengakuan untuk kemudian dijadikan alat bukti di persidangan. Pun juga tidak sulit untuk mencari data-data kasus penyiksaan tersebut yang angkanya direkap setiap tahun dalam laporan lembaga seperti KontraS hingga LBH Jakarta.
ICJR dalam penelitiannya pada 2019 juga menemukan bahwa dugaan penyiksaan bahkan terjadi dalam kasus-kasus yang terdakwanya diancam atau dijatuhi hukuman mati. Dalam penelitian mengenai penerapan fair trial dalam kasus hukuman mati tersebut, ICJR mengulas salah satu kasus yang sempat gempar pada 2016 yakni kasus Yusman Telaumbanua.
Yusman diketahui mengalami penyiksaan saat penyidikan untuk dipaksa mengaku telah berusia dewasa dan sebagai pelaku utama kasus pembunuhan. Pengakuan tersebut sempat dijadikan alat bukti dalam menjatuhkan hukuman mati terhadap Yusman.
"ICJR menemukan setidaknya 23 dugaan penyiksaan lainnya dalam kasus hukuman mati dengan pola yang sama, yakni oknum penyidik melakukan intimasi dan penyiksaan secara fisik maupun psikis untuk mengejar pengakuan," terangnya.
Ironinya, dugaan penyiksaan tersebut sangat sulit dibuktikan dalam persidangan karena tidak ada mekanisme pembuktian yang jelas diatur dalam hukum acara pidana. Hal ini kemudian memperlihatkan bagaimana mengerikannya situasi saat ini dimana negara berani menjatuhkan hukuman mati ketika sistem peradilan pidananya masih belum mampu menghadirkan peradilan yang adil (fair trial).
RKUHAP yang saat ini telah masuk dalam daftar Prolegnas DPR periode 2020-2024 perlu mengakomodir beberapa ketentuan. Pertama, memperketat pengawasan dan membentuk sistem akuntabilitas yang kuat bagi institusi aparat penegak hukum yang menjalankan proses penyidikan-penuntutan.
Berita Terkait
Terpopuler
- 23 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 17 Oktober: Klaim 16 Ribu Gems dan Pemain 110-113
- Jepang Berencana Keluar dari AFC, Timnas Indonesia Bakal Ikuti Jejaknya?
- Here We Go! Peter Bosz: Saya Mau Jadi Pelatih Timnas yang Pernah Dilatih Kluivert
- Daftar HP Xiaomi yang Terima Update HyperOS 3 di Oktober 2025, Lengkap Redmi dan POCO
- Sosok Timothy Anugerah, Mahasiswa Unud yang Meninggal Dunia dan Kisahnya Jadi Korban Bullying
Pilihan
-
Hasil Drawing SEA Games 2025: Timnas Indonesia U-23 Ketiban Sial!
-
Menkeu Purbaya Curigai Permainan Bunga Usai Tahu Duit Pemerintah Ratusan Triliun Ada di Bank
-
Pemerintah Buka Program Magang Nasional, Siapkan 100 Ribu Lowongan di Perusahaan Swasta Hingga BUMN
-
6 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori Besar untuk Orang Tua, Simpel dan Aman
-
Alhamdulillah! Peserta Magang Nasional Digaji UMP Plus Jaminan Sosial dari Prabowo
Terkini
-
Sambut HLN Ke-80, PLN Berbagi Terang Untuk Masyarakat di Berbagai Daerah
-
Setahun Prabowo-Gibran, Ray Rangkuti Soroti MBG yang Dipaksakan
-
Akhirnya Lega! Proyek Galian di Jalan TB Simatupang Selesai Lebih Awal, Lalu Lintas Kembali Normal
-
Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, WALHI Sebut Indonesia Gelap Semakin Nyata
-
Kasus Bullying Menimpa Timothy, Mendikti Saintek Hubungi Rektor Udayana Bicara Sanksi DO Pelaku?
-
Ray Rangkuti: Serbuan Massa ke DPR Bukti Gagalnya Politik Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran
-
Selain Ucapkan Ultah, Ini Tujuan Bahlil Sambangi Kediaman Prabowo di Kertanegara
-
Karena Faktor Ini, Ray Rangkuti Sebut Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran Semrawut
-
Komnas HAM Desak Pemerintah Hentikan Pendekatan Militer di Papua: Kekerasan Bukan Solusi
-
Ditanya Siapa Menteri Kena Tegur Prabowo, Bahlil: Saya Setiap Dipanggil Pasti Ditegur...