Suara.com - Banyak hal bisa dikulik dari Pantura, sebuah jalur jalan yang membentang panjang dari barat sampai timur Pantai Utara Jawa, menghubungkan area Cilegon, Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga paling ujung daerah Banyuwangi.
Berbicara soal Pantura, memori kolektif masyarakat barangkali langsung terlempar ke tradisi mudik lebaran. Sebab saat momen itu tiba, Pantura seketika disesaki oleh mereka yang pulang-pergi ke kampung halaman.
Pantura yang kini menjadi primadona ternyata memiliki rekam jejak sejarah yang teramat panjang, sejak ratusan tahun silam. Tidak banyak diketahui, jalur yang dulu dinamai De Groote Postweg alias Jalan Raya Pos itu juga menjadi satu titik penting perkembangan pembangunan jalan raya Indonesia.
Endah Sri Hartatik dalam disertasi "Dari Jalan Pesisir Menjadi Jalan Raya Pantura" (Universitas Gadjah Mada, 2016) menyebutkan, gugusan jalan di Pantura tersebut menjadi titik balik sejarah jalan raya di Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Usai Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, urusan pembangunan jalan mutlak menjadi urusan negara. Tentu saja berbeda dari masa sebelumnya, di mana Indonesia masih sepenuhnya dikuasai pemerintah kolonial.
Era awal kemerdekaan, tugas pembangunan jalan raya menjadi tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum. Pada periode itu, pemerintah berhasil membangun banyak ruas jalan, meski kebanyakan masih berpusat di Ibu Kota Jakarta.
Bung Karno misalnya pada 1955, berhasil menyelesaikan pembangunan Kota Kebayoran Baru yang memunculkan jaringan jalan baru selebar 40 meter, menghubungkan tempat tersebut dengan Kota Jakarta.
Mengutip disertasi karya Endah Sri Hartatik (2016), jalan itu terdiri dari dua jalur besar untuk lalu-lintas cepat dan dua jalur untuk lalu-lintas biasa. Kini, bentangan jalan tersebut lebih dikenal dengan nama Jalan Jenderal Sudirman – Jalan MH Thamrin.
Perlu diketahui, jalan itu dibangun dengan kualitas tinggi dan lebar jalan yang cukup besar. Sampai-sampai tidak sedikit orang menyebut jalan itu menjadi yang paling lebar di area Jakarta.
Baca Juga: Sejarah Menarik Jalan Raya Pantura yang Tak Banyak Diketahui
Memasuki era 1960-an, Bung Karno atau pemerintah Orde Lama membangun jalan melintasi Cililitan hingga Tanjung Priok. Jalan bernama Jakarta Bypass tersebut seringkali dijuluki "Jakarta Bebas" karena lebarnya jalan dan lengangnya lalu lintas, membuat para pengendara bisa bebas menikmati dan melintasi jalan yang juga dibangun dengan spesifikasi tinggi ini.
Tak lama usai Jakarta Bypass diresmikan pada 1963, peta kekuasaan Indonesia berubah. Orde Lama kemudian digantikan oleh Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto.
Babak baru pembangunan, begitulah Endah Sri Hartatik dalam disertasi "Dari Jalan Pesisir Menjadi Jalan Raya Pantura" (2016) menyebut era Orde Baru yang menorehkan prestasi dalam hal pembangunan jalan.
Sebab, pada masa Orde Baru, Indonesia berhasil menerapkan sistem pengoperasian jalan raya dengan menggunakan konsep "jalan tol". Sistem baru tersebut mulai diterapkan usai pembangunan Jalan Jagorawi yang menghubungkan area Jakarta, Bogor dan Ciawi, rampung digarap pada 1978.
Keberhasilan pembangunan jalan bebas hambatan berspesifikasi tinggi tersebut menjadi prestasi tersendiri bagi Indonesia. Pasalnya, Indonesia saat itu sudah sukses membangun jalan raya modern, terdepan dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Tak ayal, pemerintah Orde Baru lantas secara berkelanjutan gencar membangun jalan tol. Bahkan mulai 1987, swasta ikut berpartisipasi dalam bentuk investasi. Getolnya lagi, tahun 1995-1997 pemerintah melakukan loncatan dengan upaya percepatan pembangunan jalan tol melalui tender 19 ruas jalan tol sepanjang 762 km.
Berita Terkait
-
10 Jalan Tol Paling Rawan Kecelakaan, Belajar dari Tragedi Maut di Tol Krapyak
-
Bukan Tax On Location, Ini Arti Kata "Tol" yang Sebenarnya dan Sejarahnya di Indonesia
-
Tak Ada Jeda Waktu, Pembatasan Truk di Tol Berlaku Non-stop Hingga 4 Januari
-
Daftar Ruas Tol Diskon 20 Persen Selama Libur Panjang Nataru, Cek Tanggalnya!
-
Ini 4 Gerbang Tol Berpotensi Macet Selama Libur Nataru 2025/2026, Awas Terjebak!
Terpopuler
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- 7 Sepatu Murah Lokal Buat Jogging Mulai Rp100 Ribuan, Ada Pilihan Dokter Tirta
- 4 Sepatu Lari Teknologi Tinggi Rekomendasi Dokter Tirta untuk Kecepatan Maksimal
- 5 Sepatu Lari Hoka Diskon 50% di Sports Station, Akhir Tahun Makin Hemat
Pilihan
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
4 Rekomendasi HP Xiaomi Murah, RAM Besar Memori Jumbo untuk Pengguna Aktif
-
Cek di Sini Jadwal Lengkap Pengumuman BI-Rate Tahun 2026
-
Seluruh Gubernur Wajib Umumkan Kenaikan UMP 2026 Hari Ini
-
Indosat Gandeng Arsari dan Northstar Bangun FiberCo Independent, Dana Rp14,6 Triliun Dikucurkan!
Terkini
-
16.078 Warga Binaan Terima Remisi Natal 2025: 174 Napi Langsung Bebas, Negara Hemat Rp9,4 Miliar
-
UMP DKI 2026 Ditetapkan Rp5,7 Juta, Pramono Ungkap Formula Baru Era Prabowo
-
Pengamat Sorot Gebrakan Mendagri di Sumatra, Dinilai Perkuat Penanganan Bencana
-
Rawat Tradisi Lung Tinulung, HS dan Musisi Jogja Galang Donasi untuk Korban Bencana Sumatera
-
3x24 Jam Berlalu, Gus Yahya Sebut Belum Ada Respons dari Rais Aam Soal Upaya Islah
-
Orang Dekat Prabowo 'Pecah Bintang', Dua Ajudan Setia Kini Sandang Pangkat Jenderal
-
Gunungan Uang Rp6,6 Triliun Dipamerkan di Kejagung, Hasil Denda dan Rampasan Korupsi Kehutanan
-
Lewat BRIN, Bagaimana Indonesia Ikut Menentukan Cara Dunia Baca Ancaman Mikroplastik Laut?
-
Alarm Merah KPK: 60 LHKPN Pejabat Masuk Radar Korupsi, Harta Tak Sesuai Profil
-
Beban Polri di Pundak Prabowo, Pengamat Sebut Warisan 'Dosa' Politik Jokowi yang Merusak