Suara.com - Otoritas Prancis telah menuntut dan menahan empat warga Pakistan yang dicurigai terkait dengan penusukan oleh seorang rekan senegaranya di luar bekas kantor Charlie Hebdo yang melukai dua orang.
Menyadur Al Jazeera, Jumat (19/12/2020) keempat tersangka tersebut berusia 17 hingga 21 tahun diduga telah melakukan kontak dengan pelaku penyerangan, kata seorang sumber yang mengetahui kasus tersebut.
Mereka dicurigai mengetahui rencana pelaku dan menghasutnya untuk melakukannya, menurut sumber lain yang dekat dengan penyelidikan kasus tersebut.
Tiga orang didakwa pada hari Jumat karena mengambil bagian dalam konspirasi teroris dan dalam penahanan praperadilan. Sedang satu terduga sudah didakwa pada hari Rabu.
Dua orang ditangkap di departemen barat daya Gironde, yang ketiga di kota pelabuhan utara Caen dan yang terakhir di wilayah Paris.
"Mereka berbagi ideologinya dan salah satunya mengungkapkan kebenciannya terhadap Prancis beberapa hari sebelum aksi," kata salah satu sumber.
Berita dakwaan itu muncul dua hari setelah pengadilan Paris menghukum 13 kaki tangan pria bersenjata yang membantai staf Charlie Hebdo pada Januari 2015.
Untuk menandai dimulainya persidangan pada awal September, majalah satir mingguan tersebut mencetak ulang karikatur Nabi Muhammad.
Tiga minggu kemudian, seorang pria Pakistan menikam dua orang dengan sebuah pisau besar di luar bekas kantor mingguan itu.
Baca Juga: Presiden Prancis Isolasi Mandiri 7 Hari, Apa Pertimbangannya?
Pelaku bernama Zaheer Hassan Mahmoud (25) ditangkap pada bulan September dan kini masih dalam tahanan.
Dia mengatakan kepada penyelidik bahwa, sebelum melakukan aksinya, ia menonton "video dari Pakistan" mengenai keputusan Charlie Hebdo untuk menerbitkan ulang kartun Nabi Muhammad.
Pada 16 Oktober, seorang pemuda asal Chechnya memenggal kepala guru Samuel Paty, yang menunjukkan beberapa karikatur kepada murid-muridnya.
Kurang dari dua minggu kemudian, tiga orang tewas dalam insiden penikaman oleh seorang pemuda Tunisia di sebuah gereja di kota Nice, Mediterania.
Pemerintahan Presiden Emmanuel Macron telah memperkenalkan undang-undang untuk menangani apa yang disebutnya "radikalisme" di Prancis.
Macron juga menghadapi reaksi keras dari para aktivis Muslim setelah mengklaim dalam pidatonya di bulan Oktober bahwa Islam "dalam krisis global" dan mengumumkan rencananya "untuk mereformasi Islam" agar lebih sesuai dengan nilai-nilai republik negaranya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
- Fakta-Fakta Korupsi Bupati HSS Kalsel, Diduga Minta Dana Proyek Puluhan Miliar
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 3 Oktober: Klaim Ballon d'Or 112 dan Gems
Pilihan
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
Terkini
-
Prabowo: Organisasi TNI yang Usang Harus Diganti Demi Kesiapan Nasional
-
MBG Tetap Jalan Meski Kekurangan Terjadi, Pemerintah Fokus Sempurnakan Perpres Tata Kelola
-
HUT ke-80 TNI, PPAD Ajak Rawat Persatuan dan Kawal Masa Depan Bangsa
-
Kejati Banten Siap Jadi Mediator Polemik Penutupan Jalan Puspitek Serpong
-
HUT ke-80 TNI, Dasco: TNI Profesional dan Berkarakter Rakyat Jaminan Demokrasi
-
Finalisasi Perpres Tata Kelola MBG, Istana Pastikan Rampung Minggu Ini
-
Pengunjung HUT ke-80 TNI di Monas Membludak, Transjakarta Tambah 150 Armada
-
Penampakan Mobil Pengasuh Ponpes Al Khoziny usai Tertimpa Musala Roboh, Harganya Rp1 M?
-
DNA Dikirim ke Jakarta, Tim DVI Kerja Maraton Identifikasi 6 Jenazah Korban Ponpes Al Khoziny
-
Siapa Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem, Doktor Harvard dan Aktivis '66, Turun Gunung ke Pengadilan