Suara.com - Militer Myanmar melakukan kudeta atau mengambil alih kekuasaan sepihak, setelah Aung San Suu Kyi dan para pemimpin politik lainnya diculik oleh bala tentara, Senin (1/2/2021) dini hari.
Menyadur BBC News, beberapa jam setelah penangkapan para pemimpin sipil, TV militer Myanmar mengumumkan dan mengonfirmasi keadaan darurat selama satu tahun.
Kudeta terjadi setelah ketegangan meningkat antara pemerintah sipil dan militer karena persoalan pemilu bulan November 2020.
Liga Nasional untuk Demokrasi, mengumumkan kemenangan partai tersebut pada pemilu. Namun, militer menilai partai Aung San Suu Kyi tersebut melakukan kecurangan.
Otoritas militer mengatakan, mereka menyerahkan kekuasaan kepada panglima tertinggi Min Aung Hlaing, setelah Penasihat Negara Aung San Suu Kyi ditangkap dan ditahan.
Ketegangan antara pemerintah sipil dan militer di Myanmar semakin memanas sejak pemilihan November lalu.
Partai Suu Kyi memenangkan 396 dari 476 kursi. Namun pihak militer mengklaim hasil pemilihan diwarnai kecurangan. Klaim tersebut ditolak oleh komisi pemilihan Myanmar.
Pekan lalu, militer menolak untuk mengesampingkan kudeta sebagai jalan menggulingkan kemenangan pemilihan Liga Nasional untuk Demokrasi.
Mark Farmaner, direktur Burma Campaign UK, mengatakan kepada Sky News, penduduk Myanmar melaporkan tentara menduduki jalan-jalan utama.
Baca Juga: Menegangkan, Detik-detik Penangkapan Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi
Selain itu, jaringan internet dan telepon terganggu. Stasiun TV negara juga menghentikan siaran dengan dalih adanya masalah teknis.
Farmaner mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, Myanmar telah diperintah oleh pemerintah sipil Suu Kyi.
Tetapi militer tetap memegang kendali atas kementerian dan pasukan keamanan yang paling penting.
"Tidak masuk akal bagi militer untuk melakukan ini, karena mereka mendapat banyak manfaat dari reformasi yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir," katanya tentang kudeta.
Menurut Jonathan Head, koresponden BBC di Asia Tenggara, kudeta tersebut tampaknya merupakan pelanggaran nyata terhadap konstitusi yang dirancang oleh militer lebih dari satu dekade lalu.
John Sifton, direktur advokasi Asia untuk Human Rights Watch, mengatakan militer Myanmar tidak pernah tunduk pada pemerintahan sipil dan meminta negara lain untuk memberlakukan "sanksi ekonomi yang tegas dan terarah" pada kepemimpinan militer dan kepentingan ekonominya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
Terkini
-
Giliran Rumah Kajari Kabupaten Bekasi Disegel KPK
-
Seskab Teddy Jawab Tudingan Lamban: Perintah Prabowo Turun di Hari Pertama Banjir Sumatra
-
7 Fakta Warga Aceh Kibarkan Bendera Putih yang Bikin Mendagri Minta Maaf
-
Skema WFA ASN dan Pegawai Swasta Nataru 2025, Termasuk TNI dan Polri
-
Pakar Hukum Unair: Perpol Jabatan Sipil Polri 'Ingkar Konstitusi', Prabowo Didesak Turun Tangan
-
Duka Sumut Kian Pekat, Korban Jiwa Bencana Alam Bertambah Jadi 369 Orang
-
Polisi Tantang Balik Roy Suryo dkk di Kasus Ijazah Jokowi: Silakan Ajukan Praperadilan!
-
Besok Diprediksi Jadi Puncak Arus Mudik Nataru ke Jogja, Exit Prambanan Jadi Perhatian
-
Mendagri: Pemerintah Hadir Penuh Tangani Bencana di Sumatera
-
Ancaman Bencana Kedua Sumatra: Saat Wabah Penyakit Mengintai di Tenda Pengungsian